Di Wedi Awu Ada Indah yang Terharu

 

Pengabdian di Pantai Wedi Awu Malang

Langit penuh awan kelabu tak hendak pergi walau mentari datang menyergap. Hembusan udara berhasil menerobos sela-sela kaca besi bermesin kuda. Tulang berbungkus kulit telah kaku menggigil meski sebuah kain tipis berwarna merah muda membalut tubuh Indah. Pandangannya lepas ke arah lubang besar di sisi kiri, sesekali bergantian menengok gugusan batu kapur menjulang tinggi di arah sebaliknya.

“Kok bisa ngebut di jalanan seperti ini?”, tanya seorang wanita paruh baya memecah keheningan, sembari menunjuk ke sebuah motor trail yang berjalan berlawanan arah.

Seketika lamunan Indah buyar, berusaha tersenyum menanggapi ucapan Bu Dosen itu. Namun hati Indah tetap tak bisa berbohong karena apa yang direncanakan tak sesuai harapannya. Seperti halnya Indah, Anes dan Nur hanya bisa pasrah ketika bu dosen meminta mereka bertiga bertahan selama 3 hari 2 malam.

Mulanya Indah sudah membayangkan akan makan enak di hari lusa. Melepas rindu dengan bapak dan ibu dari Probolinggo yang berkunjung ke rumah budhe di Lawang untuk merayakan hari kelahiran Yesus Kristus. Namun pikirannya mulai terganggu semenjak tanpa aba-aba Bu Dosen menitipkan Indah, Anes, dan Nur pada seorang pria beranak satu.

Semenjak dana Doktor Mengabdi dari kampus cair, mereka bertiga tak henti-hentinya bolak-balik pasar dan laboratorium untuk meramu resep abon ikan jantung pisang. Ya, mereka mahasiswa S1 yang dipercaya Bu Dosen untuk mengerjakan proyek pengabdian. Hingga pada akhir tahun 2020, kegiatan final dilaksanakan di sebuah desa pesisir Pantai Wedi Awu, Kabupaten Malang.

Pak Slamet namanya, menyambut rombongan dari perguruan tinggi di Kota Malang itu bersama ibu-ibu tetangganya dengan senyum sumringah. Nelayan adalah pekerjaan utamanya, tetapi beliau juga mempunyai beberapa kebun pisang serta salak. Beliau tak menduduki jabatan sebagai ketua RT apalagi kepala desa, tetapi warga setempat begitu segan kepadanya. Nampak raut wajah tegar ketika beliau bercerita harus mengurus anak seorang diri karena sang istri merantau ke Hongkong menjadi TKW.

Beliau meminta Indah dan rombongan lainnya masuk ke dalam sebuah bangunan sederhana bercat putih yang hanya berjarak 200 meter dari tepi pantai. Di sebelah kanan, terdapat panci raksasa yang ternyata alat penyulingan minyak cengkeh. Beliau berujar juga memiliki usaha sampingan tersebut yang sudah berjalan belasan tahun. Mempersilakan rombongan sejenak menghilangkan penat karena berjam-jam lamanya melewati jalanan berkelok-kelok penuh kerikil. Pak sopir tak mau beranjak dari kursi dan memilih memejamkan matanya setelah bergulat dengan ancaman kematian.

Tak sampai satu jam, Indah, Anes, dan Nur mulai membagikan buku resep kepada para ibu rumah tangga. Ada yang sibuk membersihkan sisik menempel pada ikan tongkol, ada yang mulai mengupas bawang merah bawah putih, dan ada pula yang merebus jantung pisang. Tak lupa Indah menunjukkan sebuah mesin penggiling daging yang sudah dipesan satu bulan lamanya.

Indah dan kedua temannya begitu malu-malu menjelaskan bagaimana cara membuat abon. Mereka merasa bahwa ibu-ibu itu lebih pandai memasak dan berpengalaman mengolah bahan-bahan dapur. Namun, nyatanya ibu-ibu yang baru dikenalnya itu nampak berusaha mengosongkan gelas untuk mengisinya dengan air baru.

Tak terasa udara mulai memanas dan matahari mulai bersinar tepat di atas ubun-ubun. Bu Dosen mulai menyalami Pak Slamet dan ibu-ibu satu persatu yang masih berkutat dengan kompor. Tak lupa, beliau menyerahkan 3 lembar uang lima puluh ribu kepada Indah. Segera beliau menutup pintu mobil dan hilang dari keramaian.

“Gimana ini, aku cuma bawa satu baju ganti”, keluh Indah.

“Sama aja, ya mau gimana lagi, terpaksa dipakai beberapa hari hahaha”, tawa Anes memekik.

“Padahal bilangnya cuma nginap satu hari, lah kok tiba-tiba minta tiga hari?”

Anes dan Nur terdiam, tak membalas ucapan Indah. Namun ketiganya memiliki pikiran yang sama, meratapi takdir yang tidak bisa mereka ubah.

Tepat suara adzan Asar berkumandang, ibu-ibu mulai meninggalkan rumah Pak Slamet. Tetapi tidak dengan Mbak Siti, ia masih menunggu Cici, putri semata wayangnya yang asyik mengaduk tanah di depan rumah. Kaos putih bergambar bunga begitu melekat di tubuhnya, pewarna bibir merah terang membuatnya nampak percaya diri.

“Saya lulus SMA langsung dinikahkan, kalau disini sudah biasa. Malah yang lulus SD dan SMP lebih banyak lagi”, sahut Mbak Siti.

Indah termenung ketika mengetahui usia Mbak Siti yang hanya berbeda setahun darinya. Ia yang selama ini ogah-ogahan berkuliah, justru seperti ditampar langsung oleh Tuhan. Ia tidak menyadari jika nasibnya lebih beruntung karena dapat merasakan duduk di bangku pendidikan tinggi. Sementara Mbak Siti harus mengubur mimpinya dan terpaksa berganti peran menjadi ibu rumah tangga yang mengurus anak serta suami. Belum lagi harus tinggal di daerah yang jauh dari hingar bingar perkotaan dan fasilitas memadai.

Anes dan Nur mengangguk-angguk, mengimbangi cerita Mbak Siti. Bersyukur adalah satu kata yang terlintas di benak tiga sekawan itu. Walaupun hidupnya serba kekurangan dan jauh dari kemewahan, nyatanya masih ada orang lain yang jauh dibawahnya dan tidak bisa berbuat apa-apa karena persoalan tradisi.

***

“Di dekat pintu ada sinyal, mbak”, ucap Pak Slamet.

“Oh, nggih pak”.

Ada sedikit rasa kesal di batin Indah, karena perlu perjuangan menaiki kursi hanya untuk membatalkan janji pertemuan dengan orang tuanya. Namun lagi-lagi, ia tidak bisa berbuat banyak dan kembali mengingat betapa beruntung hidupnya selama ini daripada penduduk desa.

Pantai Wedi Awu cukup unik jika dibandingkan dengan pantai lain di Malang Selatan. Ombaknya terbilang tinggi dan cocok bagi penggemar olahraga selancar. Namun sangat jarang orang yang mau berkunjung karena letaknya begitu terpencil. Padahal pasirnya halus kuning kecokelatan dengan ditemani pemandangan beberapa perahu nelayan yang bersandar.

Langit yang cerah mulai berganti gelap penuh kesunyian. Nyanyian jangkrik dan dempuran ombak begitu jelas memecah keheningan.

“Hampir setiap malam pasti mati lampu, mbak”, kata Pak Slamet.

Tak ada sinyal serta listrik mati adalah paket lengkap penderitaan yang harus diterima Indah, Anes, dan Nur. Apabila biasanya mereka berebut stop kontak untuk menge-charge HP, kali ini justru tak berniat menyentuhnya sama sekali. Yang ada hanyalah bagaimana mereka bercengkerama memanfaatkan waktu bersama Dodi, putra Pak Slamet. Walaupun hidup dengan keterbatasan dan mengandalkan didikan seorang ayah, Dodi tumbuh menjadi anak hebat yang beberapa kali menjuarai kompetisi sepatu roda tingkat kabupaten.

Waktu terus berjalan dan malam akan berganti esok hari. Meskipun perlu adaptasi, Indah dan kedua temannya berubah tak ingin meninggalkan Wedi Awu terlalu cepat. Ada rasa bangga menyelimuti, bisa sebentar merasakan hidup bersama manusia-manusia luar biasa. Sumber daya alam melimpah, keelokan lukisan semesta melenyapkan kesedihan mereka.

0 komentar