inimelynda
inimelynda
  • Home
  • Achievements
  • Portfolio
  • Features
    • Environmental
    • Writing
      • Tips and Tricks
      • Review
    • Marine
    • Lifestye
  • Contact

Polusi Udara Jakarta
Monas terlihat samar akibat polusi udara di Jakarta, 11 Agustus 2023 (Sumber: TEMPO)

“Kukira embun, ternyata jerebu (asap)”, tulis seseorang di akun media sosial. 

Kabar tentang polusi udara di DKI Jakarta sedang ramai berembus. Teriakan-teriakan warga ibu kota semakin memekik usai situs IQAir merilis Indeks Kualitas Udara (AQI) kota metropolitan itu yang terburuk sedunia pada Jumat, 11 Agustus 2023 pukul 06.00 WIB. Bahkan, sejumlah media massa tak ragu menyebutnya sebagai daerah paling beracun di bumi. 

Beberapa orang yang pertama kali ke Jakarta mungkin merasa heran, bagaimana warga setempat mampu hidup berdampingan dengan udara berselimut asap? Semua mata pun tertuju pada daerah yang sebentar lagi melepas gelar ibu kota itu, karena digantikan oleh Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Tidak sedikit yang merasa iba, banyak pula yang mengkritisi kebijakan pemerintah daerah.


Daerah Pinggiran Sering Terlupakan

Polusi Udara Akibat Karhutla
Polusi Udara Akibat Karhutla (Sumber: UNJ)

Tak hanya Jakarta, ternyata masih ada sejumlah daerah di Indonesia yang lebih dahulu terpaksa hidup dengan udara tak sehat. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Direktorat Pengendalian Pencemaran Udara (Ditppu), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan, kualitas udara di Jambi, Palembang, Pekanbaru, Pontianak, serta Palangkaraya dalam kategori “Sangat Tidak Sehat” pada 2019 akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Dikutip dari kompas.id, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kepulauan Riau (Kepri) Muhammad Hasbi, Selasa, 9 Mei 2023 menyatakan, Kabupaten Bintan dan Kabupaten Natuna merupakan dua daerah paling rawan karhutla. Dalam empat bulan terakhir, kobaran api telah menghanguskan lebih dari 100 hektar lahan di Kabupaten Bintan.

Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kepri menyebutkan, setidaknya 46 persen kawasan hutan di Kepri telah diokupansi (menjadi hunian). “Fenomena keterancaman hutan sudah status mengkhawatirkan, pelaku mulai dari masyarakat dan perusahaan secara legal serta ilegal, termasuk pemerintah,” kata Kepala Ombudsman Perwakilan Kepri Lagat Parroha Patar Siadari, dilansir dari ombudsman.go.id.

Peta Provinsi Rawan Karhutla 2023
Peta Provinsi Rawan Karhutla 2023

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal TNI Suharyanto menyatakan enam provinsi masuk dalam prioritas penanganan karhutla menjelang musim kemarau kering. Enam provinsi tersebut terdiri dari tiga di Sumatra dan tiga lagi di Kalimantan.

“Jadi, ada enam provinsi prioritas, ada tiga di Sumatera: Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Kemudian tiga di Kalimantan, yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan,” ucap Suharyanto di Gedung BNPB, Jakarta, Rabu, 25 Januari 2023, dikutip dari cnnindonesia.com.


Gambut yang Luput (dari Perhatian)

Lahan Gambut
Lahan Gambut (Sumber: EcoNusa) 

Pojok Iklim KLHK melaporkan, karhutla pada 2015 sebagian besar terjadi pada ekosistem gambut. Menurut pantaugambut.id, kebakaran di lahan gambut pada umumnya diakibatkan oleh kegiatan manusia dan didukung oleh peristiwa alam, seperti El Nino. Sehingga kemarau berlangsung berkepanjangan dan ditambah oleh kondisi fisik gambut yang sudah mengalami degradasi.

Sebanyak 2,6 juta hektare hutan gambut di 32 provinsi lenyap pada 2015. Jumlah emisi setara karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan mencapai 1,1 gigaton. Akibatnya, kabut asap terjadi di hampir 80 persen wilayah Indonesia. Bahkan negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam harus menanggung akibatnya.

Terdapat 28 juta jiwa terdampak, 19 orang kehilangan nyawa, dan hampir 500 ribu orang mengalami gangguan sistem pernapasan atau infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Tak hanya itu, kesehatan kulit dan mata juga terserang akibat asap hasil kebakaran gambut yang mengandung karbon dioksida, sianida, dan amonium.

Air Gambut
Air Gambut Berwarna Keruh dan Kemerahan (Sumber: riau.go.id)

Gambut mungkin kalah populer apabila dibandingkan dengan hutan hujan tropis maupun mangrove. Tak sedikit pula yang menyangsikan manfaat dari ekosistem gambut. Unggahan di media sosial yang menunjukkan kondisi air keruh berwarna merah dari gambut semakin membuatnya terpinggirkan. 

Program transmigrasi yang digalakkan pemerintah guna mengolah lahan gambut pun tak jarang menemui kegagalan. Hal itu terbukti dari Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar yang diselenggarakan di Kalimantan Tengah di era mantan Presiden Soeharto pada 1996 dinilai gagal. 

Sebagaimana publikasi Tempo, Staf Ahli Menteri Percepatan Pembangunan Wilayah Timur Rosyid M di Palangkaraya, Rabu, 8 Oktober 2003 menjelaskan, pelaksanaan proyek lahan gambut tidak berhasil sejak perencanaan hingga tahap pemberdayaan lahan.

 

Gambut Simpan Segudang Manfaat

Manfaat Gambut
Ilustrasi Manfaat Gambut

Meski bukan prioritas, ekosistem gambut memiliki banyak manfaat, baik dari sisi ekologi maupun ekonomi.  Apa sajakah itu?

 

1.   Kurangi Dampak Bencana Banjir dan Kemarau

Lahan gambut mempunyai kemampuan menyerap air yang sangat tinggi layaknya tandon air. Gambut mampu menampung air hingga 450-850 persen dari bobot keringnya.


2.   Menunjang Perekonomian

Beberapa jenis tanaman yang mudah ditemui di ekosistem gambut, antara lain pulai, kayu hitam sulawesi, getah sundi, jambuan, pala, geronggang, dan durian. Selain itu, hutan gambut di Kalimantan menjadi rumah bagi ramin, kayu untuk pembuatan furnitur.


3.   Habitat Flora dan Fauna

Gambut menjadi rumah untuk perlindungan keanekaragaman hayati. Beberapa jenis satwa yang umum ditemui, yaitu orangutan, macan dahan Kalimantan, lutung merah, bangau hutan rawa, beruang madu, tapir, macan sumatera, angsa sayap putih, lutung kelabu, hingga ikan air tawar terkecil di dunia (Paedocypris progenetica).


4.   Mitigasi Perubahan Iklim (Climate Change)

Gambut dapat menyerap (sequester) dan menyimpan (sink) cadangan karbon dua kali lebih banyak daripada hutan yang ada di seluruh dunia.  Lahan gambut di Indonesia diperkirakan menyerap 57 gigaton karbon atau 20 kali lipat karbon tanah mineral biasa.

Mengingat betapa pentingnya gambut secara lingkungan dan ekonomi. Maka, mari #BersamaBergerakBerdaya Indonesia Merdeka dari Kebakaran Hutan dan Lahan.

#EcoBloggerSquad

Sumber:

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230125202307-20-904890/6-provinsi-terancam-karhutla-jelang-musim-kemarau-2023

https://ditppu.menlhk.go.id/portal/read/kondisi-kualitas-udara-di-beberapa-kota-besar-tahun-2019

https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/05/09/dua-kabupaten-di-kepri-rawan-kebakaran-hutan-dan-lahan

https://ombudsman.go.id/artikel/r/pwkmedia--konsinyering-ombudsman-bahas-tergerusnya-kawasan-hutan-di-kepulauan-riau

https://nasional.tempo.co/read/20664/proyek-lahan-gambut-sejuta-hektar-gagal

https://pantaugambut.id/pelajari/penyebab

http://pojokiklim.menlhk.go.id/read/mari-kita-cegah-kebakaran-hutan-dan-lahan

 


 

Organisasi Sahabat Alam Indonesia Berbagi Pengalaman tentang Merawat Lingkungan
Organisasi Sahabat Alam Indonesia Berbagi Pengalaman tentang Merawat Lingkungan (Dokumentasi Pribadi)

“Kalian beruntung, tapi tidak beruntung”, ucap pria berjenggot tipis, berkaos hijau.

Ia adalah seorang pejuang lingkungan, anggota yayasan Sahabat Alam Indonesia. Ia tanpa ragu menyebut kami, kumpulan mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Malang sebagai kelompok manusia yang beruntung. Kami bertransformasi, dari remaja berstatus siswa menjadi dewasa dengan embel-embel kata ‘maha’. 

Ia mengatakan bahwa kami patut berbangga karena merasakan bangku pendidikan hingga ke tingkat tinggi. Namun, ia mempertanyakan, setelah lulus, apa yang akan kami berikan kepada alam?

Bukan tanpa alasan ia dengan tegas melontarkan kalimat itu, karena ada seorang warga dari Kabupaten Malang yang hanya tamatan SD, tetapi ia dengan teguh menjaga alam. Dia bernama Sutari, atau akrab disapa Sutar. 


Pak Sutar, Sang Penyelamat Penyu

Pak Sutar, Sang Penyelamat Penyu
Pak Sutar, Sang Penyelamat Penyu (Instagram @bstc_malang)

Baru pertama kali kami bertemu, tapi rasa kagum tak bisa terbendung. Ia mengakui dulunya sebagai penikmat daging dan telur penyu. Namun kini memilih untuk merawat dan menjaga tukik-tukik (anakan penyu) tanpa pamrih dan tiada rasa ragu. Baginya, berkat penyesalan, ia memutuskan berubah haluan menjadi pejuang alam. 

“Saya hanya lulus SD”, kata Sutar.

Ya, dia tak malu dengan status pendidikan. Justru ia patut berbangga lantaran berhasil berbagi ilmu dan pengalaman di depan orang-orang yang katanya berpendidikan. Tak hanya mahasiswa, ia pun kerap diminta hadir di antara kelompok orang yang menyebut dirinya sebagai aktivis, akademisi, hingga pemangku kebijakan. 

Darinya kami belajar, bukan hanya tentang tata cara konservasi penyu dan tetek bengeknya. Namun, kepedulian dan kecintaannya terhadap alam membuat kami tergugah. Lantas apa yang bisa kami, anak muda lakukan untuk lingkungan? 


Anak Muda, Generasi Penerus ‘Alam’

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan melalui Sensus Penduduk 2020, bahwa Generasi Z (Gen Z) dengan rentang waktu lahir dari 1997 sampai 2012 menjadi kelompok penduduk paling banyak di Indonesia, yaitu 27,94 persen. Artinya, kami sebagai golongan manusia yang kerap disebut sebagai ‘anak bau kencur’, akan menggantikan senior-senior di berbagai lini kehidupan.

Hasil survei KedaiKOPI pada 2021 menunjukkan bahwa mayoritas anak muda menaruh perhatian lebih terhadap isu lingkungan. 77,4 persen Gen Z sangat tertarik dengan ilmu lingkungan, perubahan iklim, dan permasalahan alam lainnya. Bahkan 81,1 persen dari 1.200 responden berusia 14-24 tahun menilai climate change akan semakin memburuk di masa depan.

Dengan adanya kepekaan dan intuisi lebih terhadap alam, diikuti oleh aksi nyata, maka bukan tidak mungkin alam akan memulih. Tak perlu terjun langsung, masuk ke hutan apalagi memutuskan hengkang dari perkotaan. Cukup lakukan hal-hal sederhana dan konsisten demi mewujudkan perubahan.

Menjaga Alam dari Perkotaan

Aksi Sederhana Anak Muda untuk Alam
Aksi Sederhana Anak Muda untuk Alam (Diolah dari Canva)

Berdasarkan data BPS 2020, sebanyak 56,7 persen penduduk Indonesia memilih untuk bertempat tinggal di perkotaan. Sejalan dengan hal itu, Bank Dunia (World Bank) memperkirakan 220 juta orang atau setara 70 persen populasi akan bermukim di wilayah metropolitan. Ada beragam alasan yang mendasari, seperti fasilitas memadai, kemudahan akses, hingga luasnya lapangan pekerjaan.

Sementara itu, hanya 48,8 juta orang yang bertahan hidup di kawasan hutan. Tak bisa dipungkiri bahwa kebutuhan mendesak dan perkembangan teknologi memaksa manusia untuk bermigrasi ke perkotaan (urbanisasi).

Imbasnya, berbagai permasalahan lingkungan terus mengancam masyarakat perkotaan. Misalnya saja, kekurangan sumber air, tumpukan sampah, minimnya lahan hijau akibat alih fungsi menjadi pemukiman, hingga polusi udara. Mengacu data IQAir pada Rabu, 31 Mei 2023 pukul 07:00 WIB, Jakarta berada di posisi kedua setelah Tangerang Selatan dengan indeks udara paling buruk sedunia.

Maka dari itu, upaya kecil dari komunitas urban sangatlah diperlukan untuk menyelamatkan bumi, seperti:

-       Menghapus surat elektronik (email) yang tidak terpakai.

-       Menggunakan transportasi umum saat berangkat dan pulang kerja.

-       Hemat penggunaan AC, kipas angin, lampu, atau energi lain ketika di kantor.

-       Menghabiskan jatah makan siang atau bekal yang dibawa.

-   Membawa kemasan sendiri saat membeli kopi atau minuman kekinian pencegah kantuk di kantor.

Mumpung belum terlambat, yuk bikin perubahan. Satu aksi kebaikan, akan bermanfaat untuk lingkungan.

#EcoBloggerSquad

Tiyaitiki
Foto Tiyaitiki (Sumber: Aruna)

Papua, tanah yang kaya, tanah yang indah. Keanekaragaman hayatinya jelas melimpah. Mulai dari puncak pegunungan, hingga kedalaman samudera, semuanya ada. Masyarakat adatnya hidup berkesinambungan bersama flora dan fauna. Mereka selalu bijaksana, dalam memanfaatkan dan mengelola. Termasuk pula dalam hal menangkap ikan di lautan dan mengambil sumber daya alam lainnya. Namun, mereka tidak lupa mempraktikkan kebudayaan yang mengikat, tiyaitiki adalah salah satunya.


Apa Itu Tiyaitiki?

Secara harfiah, tiyaitiki (tiaitiki) merupakan sistem manajemen pengelolaan sumber daya alam laut yang diterapkan oleh Suku Tepra di Deponsero Utara, Teluk Tanah Merah, Kabupaten Jayapura. Pengetahuan tradisional terhadap perlindungan sumber daya (etno konservasi) laut tersebut telah berlangsung secara turun temurun. Dasar-dasar konservasi berbasis kearifan lokal masyarakat adat Suku Tepra disampaikan secara lisan dan bukan peraturan hukum yang tertulis.

Teluk Tanah Merah
Foto Pemandangan Teluk Tanah Merah (Sumber: Detik)

Pada mulanya, tiyaitiki ialah perwujudan rasa hormat kepada kepala suku yang meninggal. Namun seiring dengan berjalannya waktu, tiyaitiki berkembang menjadi konsep perlindungan ekosistem dan biota laut. Penentuan tiyaitiki dilakukan secara bersama-sama dan waktunya bersifat relatif, yakni 1 tahun sampai mutlak permanen. Tiyaitiki sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua. (1) Tiyaitiki umum meliputi penutupan area oleh suku dan (2) tiyaitiki khusus dilakukan oleh keluarga tertentu.

Tiyaitiki secara luas dikenal oleh masyarakat pesisir yang tersebar di wilayah Depapre, Tablanusu, dan Tablasupa. Dengan adanya tiyaitiki inilah, kawasan laut dikelompokkan berdasarkan fungsinya. Ada areal yang dilarang untuk dijamah apalagi dirusak. Ada pula lokasi yang boleh dieksploitasi sumber daya alamnya asalkan tetap memperhatikan keberlanjutannya (sustainability). Mereka juga menetapkan waktu-waktu tertentu dalam pelarangan penangkapan ikan layaknya adat sasi.


Peran Suku Tepra Terhadap Tiyaitiki

Seperti halnya sasi, tiyaitiki juga mengenal upacara adat berupa penutupan sona-zona penting di laut supaya tidak dimasuki manusia secara sembarangan pada kurun waktu tertentu. Jika melanggar, sanksi-sanksi akan diberikan oleh tetua adat tanpa pandang bulu. Keterlaksanaan tiyaitiki dinilai mampu menjaga alam. Mengingat alam (hutan dan laut) dianggap sebagai ayamfos, yakni ibu yang memberikan susu kepada anak ataupun dapur kehidupan oleh masyarakat Papua.

Dalam tindakan nyatanya, dapat terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Puguh dkk (2018), tiyaitiki berhasil mengatur zonasi konservasi perairan laut yang ada di Teluk Tanah Merah. Persebaran wilayah ekosistem terumbu karang yang sehat dan rusak dapat terbagi rata. Artinya masyarakat setempat sungguh-sungguh memberikan peraturan untuk tidak boleh menyentuh lokasi tertentu.

Sejak tahun 2005, masyarakat Suku Tepra juga mulai melaksanakan perlindungan salah satu jenis ikan, yaitu ikan baronang (Famili Siganidae) tepatnya di Desa Tablasupa. Selanjutnya, setelah 11 tahun berselang, Kalor dan Rumbiak (2016) menyebut bahwa ditemukan lebih dari 4 jenis ikan baronang di areal ekosistem lamun dan terumbu karang.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi
Foto Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi (Dokumentasi Pribadi)

Apa yang dilakukan oleh Suku Tepra menjadi salah satu kontribusi masyarakat adat dalam menjaga bumi. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi.

“Masyarakat adat merupakan sekelompok manusia yang atas dasar ikatan genealogis atau teritorial yang mengakar, turun-temurun lintas generasi, memiliki identitas budaya saa, dan mempunyai ikatan batin kuat terhadap suatu ruang geografis tertentu sebagai rumah bersama yang dikuasai, dijadga, dan dikelola turun-temurun sebagai wilayah kehidupan dan leluhurnya”.

Dengan demikian, berkat keterikatan antara manusia dengan alam lah yang menjadi dasar Suku Tepra tetap menjaga Teluk Tanah Merah. Bukan hanya untuk mempertimbangkan keberadaan bumi, tetapi juga demi kelangsungan hidup anak cucu.


Bagaimana Nasib Tiyaitiki Saat Ini?

Keberhasilan tiyaitiki ini ternyata terancam oleh perkembangan zaman. Praktik konservasi laut telah banyak mengalami pelemahan dengan dalih adanya kebutuhan keluarga yang meningkat. Selain itu, generasi muda juga banyak yang mulai meninggalkannya seiring dengan kecanggihan teknologi.

70% responden (35% sulit dan 35% cukup sulit) dari riset Puguh dkk (2018) mengungkapkan merasa kesulitan melaksanakan tiyaitiki. Peraturan yang tidak tertulis juga dinilai sebagai dalang dari kurang optimalnya penggunaan tiyaitiki.

Supaya tiyaitiki tidak terancam hilang bahkan punah. Mari bersama-sama suarakan dukungan untuk menjaga alam Tanah Papua. Cukup dukung mereka untuk berjuang dalam merawat lingkungan. Jangan rusak kehidupan mereka demi mencari keuntungan.

#EcoBloggerSquad

Sumber Referensi:

-      https://docplayer.info/59544984-Pengaruh-tiyaitiki-terhadap-populasi-dan-keanekaragaman-ikan-siganus-famili-siganidae-di-perairan-tablasupa-jayapura-papua.html.

-       https://journal.ipts.ac.id/index.php/ED/article/view/2311/1261.

(Me) Lamun: Tangkap Karbon Hajar Polusi

Meski namanya “Lamun”, ia tidak hanya “melamun” ‘tuk berdiam diri. Ia justru mampu menyelamatkan alam dari kerusakan, menyediakan berbagai macam nutrisi, dan rumah bagi makhluk di sekitarnya.

Tak banyak #MudaMudiBumi yang mengetahuinya, ia sering dianggap rumput yang terbenam di bawah air laut. Terabaikan dan tak sengaja diinjak bahkan terhempas oleh lambung kapal. Bahkan juga sering disamakan dengan rumput laut yang dikonsumsi manusia.

Padahal keduanya berbeda dan tidak pernah berkerabat. Memang lamun tidak mengenyangkan, tetapi menyejahterakan. Tanpanya, suhu bumi semakin memanas dan kehidupan akan terancam. Mengapa demikian?


Lamun Bukan Rumput Laut

Perbedaan rumput laut dan lamun

Apa Itu Lamun? Lamun adalah tumbuhan berbiji tertutup (angiospermae) dan berkeping satu (monokotil) yang sepenuhnya tinggal di laut. Lamun layaknya hutan di daratan karena membentuk hamparan seperti karpet yang disebut dengan istilah padang lamun (seagrass bed).

Lamun mudah ditemukan hampir di seluruh wilayah perairan laut dunia kecuali di Antartika. Tercatat ada 12 jenis dan 60 spesies lamun. Indonesia patut berbangga karena memiliki 13 spesies lamun dari 5 jenis diantaranya.  Lamun dapat melakukan fotosintesis, sehingga harus berada di perairan dangkal (1-3 meter) dan yang terdalam mencapai 30 meter.

Apa Perbedaan Lamun dengan Rumput Laut? Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan sejati yang memiliki batang, daun, dan akar. Sementara rumput laut (seaweed), yaitu alga yang tubuhnya tersusun dari bagian menyerupai akar (holdfast) dan menyerupai batang (thallus).


Laut Bukan Hanya Mangrove dan Terumbu Karang

manfaat lamun

Selama ini, sebagian orang mengenal ekosistem mangrove (hutan bakau) dan terumbu karang saja sebagai penghuni lautan. Mangrove berada di kawasan pesisir atau rawa muara sungai (pertemuan sungai dengan air laut). Sedangkan terumbu karang kerap dijadikan spot snorkeling dan menyelam (diving).

Padahal, lamun juga menjadi bagian dari laut yang tak kalah penting. Setidaknya ada tiga poin utama manfaat lamun, yakni:


1.  Lokasi Biota Laut Mencari Makan (Feeding Area)

Berbagai jenis ikan tidak hanya mencari mangsa di wilayah terumbu karang. Ikan-ikan yang hidup di perairan dangkal dan permukaan (pelagis) juga terbiasa menargetkan makanannya di padang lamun. Hewan pengembara lautan seperti penyu juga menjadi bagian dari para penghuni lamun. Bahkan mamalia langka, yakni dugong/duyung (Dugong dugon) mengkonsumsi lamun.


2.  Tempat Meletakkan Telur dan Berkembang Biak (Spawning Area)

Lamun juga dianggap sebagai tempat ideal untuk bereproduksi, memijah, dan menetaskan telur ikan-ikan maupun hewan tanpa tulang belakang (invertebrata) laut. Biasanya, ikan akan menempelkan telur-telurnya di sela-sela dedaunan lamun. Predator di daerah lamun tidak begitu kompleks dan agresif layaknya kehidupan di laut dalam. Sehingga relatif lebih aman dan nyaman seperti bersandar di pundak pacar, eh.


3.  Habitat Beraneka Ragam Organisme (Nursery Area)

Seperti disinggung sebelumnya, jika di padang lamun terdapat penyu dan dugong. Selain itu, juga ada beraneka macam ikan-ikan kecil yang menetap di antara rerimbunan jurai-jurai lamun. Cacing, ketam, udang, teripang (timun laut), bulu babi, ikan baronang, rajungan, serta moluska (siput dan kerang). Keanekaragaman satwa tersebut memiliki nilai ekonomis sangat tinggi.


Bagaimana Lamun Menyerap Polusi?

Proses lamun menyerap polusi

Selain tiga manfaat utama di atas, lamun yang hidup di dasar laut (substrat) berpasir, berlumpur, hingga berbatu ternyata juga menangkap sedimen dan mengendapkan partikel terlarut dalam air laut. Sehingga ia berperan mengurangi kekeruhan perairan. Jika melihat air laut yang jernih, kita patut berterima kasih karena “kerja keras” si lamun ini salah satunya.

Lamun juga mampu meredam gelombang laut yang akan menyerang daratan. Akar-akar lamun dapat mencengkeram dasar laut sehingga mencegah abrasi. Ancaman pulau tenggelam bisa diminimalisir oleh “pahlawan” lamun.

Sebagai produsen primer yang bisa membuat makanannya sendiri, lamun memerlukan sinar matahari, nutrien (nitrogen dan fosfor), serta karbondioksida. Lamun akan memfiksasi karbon organik untuk memasuki rantai makanan dan melakukan proses dekomposisi (menghancurkan) biomassa sebagai serasah.

Dengan kata lain, padang lamun membantu mengurangi laju perubahan iklim dengan menyerap sejumlah emisi karbon. Padang lamun menjadi agen Blue Carbon, yakni bagian vegetasi pesisir yang siap menyerap karbondioksida (carbon sink). Lamun adalah penumpas #SelimutPolusi yang kerap terlupakan.

Belakangan ini, upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sudah banyak dilakukan oleh para pakar. Namun lebih banyak fokus pada vegetasi darat seperti hutan hujan tropis dan perkebunan (green carbon) yang sering mengabaikan peran ekosistem pesisir. Padahal lamun memiliki kecepatan tumbuh dan produktivitas tinggi (500-1000 gC/m2/tahun).

Emisi gas rumah kaca paling besar yang dihasilkan oleh aktivitas manusia adalah karbondioksida (CO2), yaitu sebesar 55%. Sementara itu, sekitar 93% CO2 yang ada di bumi disimpan dalam lautan. Hal ini salah satunya berkat kemampuan lamun menyerap CO2 melalui proses fotosintesis.

Karbon yang diserap oleh lamun sebagian digunakan sebagai energi untuk fotosintesis. Dan sebagian lainnya disimpan dalam jaringan-jaringan tubuhnya dalam bentuk biomassa. Biomassa lamun merupakan satuan gram (berat kering maupun berat abu) bagian tubuh di atas substrat (daun, buah, batang, dan bunga) serta bagian di bawah substrat (akar dan juga rimpang) per m2 (gbk/m2).

Kandungan karbon pada lamun menggambarkan seberapa besar CO2 terlarut dalam air laut yang dapat diikat lamun. Berdasarkan penelitian Graha et al. (2016) menunjukkan bahwa rata-rata stok karbon lamun 20,68 gC/m2 di Pantai Sanur, Bali. Sedangkan total stok penyimpanan karbon keseluruhan area mencapai 66,60 ton (322 Ha). 60% bagian bawah substrat dan 40% stok karbon bagian atas substrat.


Ganasnya Karbondioksida Bagi Kehidupan di Laut

Emisi karbondioksida yang dipancarkan ke udara dibedakan berdasarkan sumbernya, yaitu:

1.    Mobile Transportation (sumber bergerak).

2.    Stationary Combustion (sumber tidak bergerak) seperti perumahan.

3.    Industrial Processes (proses industri).

4.    Solid Waste Disposal (pembuangan limbah).

Emisi CO2 juga dikategorikan menjadi:

1.    Emisi Langsung

Emisi langsung dari aktivitas atau sumber ruang batas seperti kendaraan bermotor.

2.    Emisi Tidak Langsung

Emisi dari aktivitas dalam ruang batas yang ditetapkan seperti konsumsi energi rumah tangga.

Bertambahnya kadar karbondioksida dapat meningkatkan temperatur lautan. Ketika CO2 memasuki air laut, maka akan terjadi pembentukan asam karbonat (H2CO3). Selanjutnya akan memisahkan bikarbonat (HCO3-) dengan senyawa hidrogen (H). Penambahan senyawa hidrogen menyebabkan penurunan tingkat keasaman lautan. Dampaknya akan mengubah kondisi lingkungan perairan dan tingkah laku ikan. Bahkan kematian ikan laut mencapai 50% akibat peningkatan suhu laut secara ekstrem sebesar 1,3-2,4 derajat Celcius.

 

Bagaimana Kondisi Lamun Saat Ini?

kondisi lamun saat ini

Tim Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melaporkan bahwa persentase tutupan lamun di perairan laut Indonesia adalah 40% atau 150 ribu hektar. Sementara itu, sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004, padang lamun dengan tutupan di bawah 40% masuk kategori 'kurang sehat'.

Selanjutnya, Duarte et al. (2012) dalam Graha et al. (2016) lamun hanya menyita luasan laut kurang dari 0,1%. Namun, padang lamun dapat menyimpan sekitar 20% dari total karbon di laut. Mirisnya, saat ini kerusakan ekosistem lamun di seluruh lautan Indonesia mencapai 75-90%.

Sebagai kawasan konservasi perairan, sungguh disayangkan jika kerusakan lamun dibiarkan begitu saja. Pasalnya, potensi ekonomi yang tergerus akibat hilangnya padang lamun mencapai Rp 251,48 juta per hektar selama setahun. Berbagai jenis organisme laut tak lagi memiliki tempat mencari makan. Bencana alam bisa saja datang tanpa ada aba-aba.

Selimut polusi membuat bumi semakin panas dan menyebabkan perubahan iklim. Tanpa adanya lamun, apa yang ditakutkan benar-benar berubah menjadi nyata. Bukan hanya hutan di daratan, lamun mampu menjadi salah satu solusi untuk mengatasi polusi dan perubahan iklim pula.


Apa yang Bisa Dilakukan Untuk Lamun?

lamun
Lamun yang dimanfaatkan masyarakat (Dokumentasi pribadi)

Pada umumnya, masyarakat awam belum memahami apa itu lamun dan manfaatnya bagi alam. Seperti pada foto di atas, saya menemukan lamun yang dimanfaatkan masyarakat sebagai pakan ternak. Mereka masih menganggap lamun tersedia cuma-cuma dan boleh dipergunakan kapanpun.


belajar lamun bersama peneliti LIPI
Belajar lamun bersama peneliti LIPI (Dokumentasi pribadi)

Sedangkan kegiatan manusia khususnya di wilayah pesisir yang tak ramah lingkungan semakin masif. Misalnya penangkapan ikan dengan alat tangkap merusak (cantrang, payang, dan bom ikan), industri pelabuhan, pembangunan pemukiman, dan rekreasi. Reklamasi pantai untuk kawasan industri secara langsung juga meningkatkan tekanan pada lamun. Berbagai pencemaran termasuk limbah rumah tangga, perikanan (tambak), dan pertanian berdampak pada penurunan kondisi lamun.

Sebagai pecinta laut (Thallasophile), saya berusaha melakukan langkah-langkah sederhana untuk menyelamatkan kelestarian lamun. Contohnya menyebarkan informasi tentang lamun pada sebuah artikel yang dipublikasikan pada laman Beranda Inspirasi. #UntukmuBumiku, saya juga pernah belajar langsung kepada peneliti lamun dari LIPI di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu. Serta berkesempatan melaksanakan transplantasi lamun untuk memulihkan padang lamun yang hilang/rusak.

Transplantasi lamun di Pulau Tidung (Dokumentasi pribadi)

Untuk menghadirkan lamun dalam keabadiaan di bumi, saya tidak bisa sendiri. Saya perlu bantuan semua orang sebagai #TeamUpForImpact. Jika kamu bertanya apa yang harus dilakukan? Cukuplah jadi bijaksana dengan ekosistem yang ada di laut. Kamu bisa membagikan artikel ini, supaya lebih banyak orang yang sadar akan keberadaan lamun. Sekarang kamu tahu kan, kalau Laut Punya Lamun Si Pahlawan Karbon?

Kamu juga bisa gabung Team Up For Impact di laman berikut. Bisa nanam pohon tanpa kotor-kotoran loh. Gimana caranya? Coba cek aja…

Team Up For Impact

Sumber Rujukan:

Aqualdo, N., Eriyati, & Indrawati, T. (2012). Penyeimbangan lingkungan akibat pencemaran karbon yang ditimbulkan industri warung internet di Kota Pekanbaru. Jurnal Ekonomi, 20 (3), 1-11.

Graha, Y. I., Arthana, I W., & Karang, I W. G. A. (2016). Simpanan karbon padang lamun di kawasan Pantai Sanur, Kota Denpasar. Jurnal Ecotrophic, 10 (1), 46-53.

Nuary, Z. A. (2020). Dampak perubahan temperatur dan karbondioksida lingkungan terhadap kondisi ikan karang. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 25 (1), 64-69.

http://lipi.go.id/siaranpress/ekosistem-padang-lamun-di-indonesia-masih-kurang-bagus/18396.

http://national-oceanographic.com/article/kenalan-dengan-lamun-seagrass-yuk.

http://national-oceanographic.com/article/peran-lamun-dalam-mengatasi-global-warming.

http://national-oceanographic.com/article/rumput-di-laut-tapi-bukan-rumput-laut-itulah-lamun-seagrass. 

Postingan Lama Beranda

Kasih Jajan

Diberdayakan oleh Blogger

Copyright © inimelynda. Designed by OddThemes