Papua,
tanah yang kaya, tanah yang indah. Keanekaragaman hayatinya jelas melimpah.
Mulai dari puncak pegunungan, hingga kedalaman samudera, semuanya ada. Masyarakat
adatnya hidup berkesinambungan bersama flora dan fauna. Mereka selalu
bijaksana, dalam memanfaatkan dan mengelola. Termasuk pula dalam hal menangkap
ikan di lautan dan mengambil sumber daya alam lainnya. Namun, mereka tidak lupa
mempraktikkan kebudayaan yang mengikat, tiyaitiki
adalah salah satunya.
Apa Itu Tiyaitiki?
Secara harfiah, tiyaitiki (tiaitiki) merupakan
sistem manajemen pengelolaan sumber daya alam laut yang diterapkan oleh Suku
Tepra di Deponsero Utara, Teluk Tanah Merah, Kabupaten Jayapura. Pengetahuan tradisional
terhadap perlindungan sumber daya (etno konservasi) laut tersebut telah
berlangsung secara turun temurun. Dasar-dasar konservasi berbasis kearifan
lokal masyarakat adat Suku Tepra disampaikan secara lisan dan bukan peraturan
hukum yang tertulis.
Foto Pemandangan Teluk Tanah Merah (Sumber: Detik)
Pada
mulanya, tiyaitiki ialah perwujudan
rasa hormat kepada kepala suku yang meninggal. Namun seiring dengan berjalannya
waktu, tiyaitiki berkembang menjadi
konsep perlindungan ekosistem dan biota laut. Penentuan tiyaitiki dilakukan secara bersama-sama dan waktunya bersifat
relatif, yakni 1 tahun sampai mutlak permanen. Tiyaitiki sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua. (1)
Tiyaitiki umum meliputi penutupan
area oleh suku dan (2) tiyaitiki
khusus dilakukan oleh keluarga tertentu.
Tiyaitiki secara luas dikenal oleh
masyarakat pesisir yang tersebar di wilayah Depapre, Tablanusu, dan Tablasupa.
Dengan adanya tiyaitiki inilah,
kawasan laut dikelompokkan berdasarkan fungsinya. Ada areal yang dilarang untuk
dijamah apalagi dirusak. Ada pula lokasi yang boleh dieksploitasi sumber daya
alamnya asalkan tetap memperhatikan keberlanjutannya (sustainability). Mereka juga menetapkan waktu-waktu tertentu dalam
pelarangan penangkapan ikan layaknya adat sasi.
Peran Suku Tepra Terhadap Tiyaitiki
Seperti
halnya sasi, tiyaitiki juga mengenal
upacara adat berupa penutupan sona-zona penting di laut supaya tidak dimasuki
manusia secara sembarangan pada kurun waktu tertentu. Jika melanggar,
sanksi-sanksi akan diberikan oleh tetua adat tanpa pandang bulu. Keterlaksanaan
tiyaitiki dinilai mampu menjaga alam.
Mengingat alam (hutan dan laut) dianggap sebagai ayamfos, yakni ibu yang memberikan susu kepada anak ataupun dapur
kehidupan oleh masyarakat Papua.
Dalam
tindakan nyatanya, dapat terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Puguh dkk (2018), tiyaitiki berhasil
mengatur zonasi konservasi perairan laut yang ada di Teluk Tanah Merah.
Persebaran wilayah ekosistem terumbu karang yang sehat dan rusak dapat terbagi
rata. Artinya masyarakat setempat sungguh-sungguh memberikan peraturan untuk tidak
boleh menyentuh lokasi tertentu.
Sejak tahun 2005, masyarakat Suku Tepra juga mulai
melaksanakan perlindungan salah satu jenis ikan,
yaitu ikan baronang (Famili Siganidae) tepatnya di Desa Tablasupa. Selanjutnya,
setelah 11 tahun berselang, Kalor dan Rumbiak (2016) menyebut bahwa ditemukan lebih dari 4 jenis ikan baronang di areal
ekosistem lamun dan terumbu karang.
Foto Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi (Dokumentasi Pribadi)
Apa yang
dilakukan oleh Suku Tepra menjadi salah satu kontribusi masyarakat adat dalam
menjaga bumi. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Sekretaris
Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi.
“Masyarakat
adat merupakan sekelompok manusia yang atas dasar ikatan genealogis atau
teritorial yang mengakar, turun-temurun lintas generasi, memiliki identitas
budaya saa, dan mempunyai ikatan batin kuat terhadap suatu ruang geografis
tertentu sebagai rumah bersama yang dikuasai, dijadga, dan dikelola
turun-temurun sebagai wilayah kehidupan dan leluhurnya”.
Dengan
demikian, berkat keterikatan antara manusia dengan alam lah yang menjadi dasar
Suku Tepra tetap menjaga Teluk Tanah Merah. Bukan hanya untuk mempertimbangkan
keberadaan bumi, tetapi juga demi kelangsungan hidup anak cucu.
Bagaimana
Nasib Tiyaitiki Saat Ini?
Keberhasilan
tiyaitiki ini ternyata terancam oleh
perkembangan zaman. Praktik konservasi laut telah banyak mengalami pelemahan
dengan dalih adanya kebutuhan keluarga yang meningkat. Selain itu, generasi
muda juga banyak yang mulai meninggalkannya seiring dengan kecanggihan
teknologi.
70% responden (35% sulit dan 35% cukup sulit) dari riset Puguh dkk (2018) mengungkapkan merasa kesulitan melaksanakan tiyaitiki. Peraturan yang tidak tertulis juga dinilai sebagai
dalang dari kurang optimalnya penggunaan tiyaitiki.
Supaya
tiyaitiki tidak terancam hilang
bahkan punah. Mari bersama-sama suarakan dukungan untuk menjaga alam Tanah
Papua. Cukup dukung mereka untuk berjuang dalam merawat lingkungan. Jangan
rusak kehidupan mereka demi mencari keuntungan.
Meski namanya “Lamun”, ia tidak hanya “melamun” ‘tuk berdiam diri. Ia justru
mampu menyelamatkan alam dari kerusakan, menyediakan berbagai macam nutrisi,
dan rumah bagi makhluk di sekitarnya.
Tak banyak #MudaMudiBumi yang
mengetahuinya, ia sering dianggap rumput yang terbenam di bawah air laut. Terabaikan
dan tak sengaja diinjak bahkan terhempas oleh lambung kapal. Bahkan juga sering
disamakan dengan rumput laut yang dikonsumsi manusia.
Padahal keduanya berbeda dan tidak pernah
berkerabat. Memang
lamun tidak mengenyangkan, tetapi menyejahterakan. Tanpanya, suhu
bumi semakin memanas dan kehidupan akan terancam. Mengapa demikian?
Lamun Bukan Rumput Laut
Apa Itu Lamun?Lamun adalah tumbuhan berbiji tertutup (angiospermae) dan berkeping satu (monokotil) yang sepenuhnya
tinggal di laut. Lamun layaknya hutan di
daratan karena membentuk hamparan seperti karpet yang disebut dengan
istilah padang lamun (seagrass bed).
Lamun mudah ditemukan hampir di seluruh wilayah
perairan laut dunia kecuali di Antartika. Tercatat ada 12 jenis dan 60 spesies
lamun. Indonesia patut berbangga karena memiliki 13 spesies lamun dari 5
jenis diantaranya. Lamun dapat melakukan fotosintesis, sehingga harus
berada di perairan dangkal (1-3 meter) dan yang terdalam mencapai 30 meter.
Apa Perbedaan Lamun dengan Rumput Laut? Lamun (seagrass)
merupakan tumbuhan sejati yang memiliki batang, daun, dan akar. Sementara rumput laut (seaweed), yaitu alga yang tubuhnya tersusun dari bagian
menyerupai akar (holdfast) dan
menyerupai batang (thallus).
Laut Bukan Hanya Mangrove dan Terumbu Karang
Selama
ini, sebagian orang mengenal ekosistem
mangrove (hutan bakau) dan terumbu karang saja sebagai penghuni lautan.
Mangrove berada di kawasan pesisir atau rawa muara sungai (pertemuan sungai
dengan air laut). Sedangkan terumbu karang kerap dijadikan spot snorkeling dan menyelam (diving).
Padahal,
lamun juga menjadi bagian dari laut yang tak kalah penting. Setidaknya ada tiga
poin utama manfaat lamun, yakni:
1.Lokasi Biota Laut Mencari Makan (Feeding Area)
Berbagai
jenis ikan tidak hanya mencari mangsa di wilayah terumbu karang. Ikan-ikan yang
hidup di perairan dangkal dan permukaan (pelagis) juga terbiasa menargetkan
makanannya di padang lamun. Hewan pengembara lautan seperti penyu juga menjadi
bagian dari para penghuni lamun. Bahkan mamalia langka, yakni dugong/duyung (Dugong dugon) mengkonsumsi lamun.
2.Tempat Meletakkan Telur dan Berkembang Biak (Spawning Area)
Lamun
juga dianggap sebagai tempat ideal untuk bereproduksi, memijah, dan menetaskan
telur ikan-ikan maupun hewan tanpa tulang belakang (invertebrata) laut.
Biasanya, ikan akan menempelkan telur-telurnya di sela-sela dedaunan lamun. Predator
di daerah lamun tidak begitu kompleks dan agresif layaknya kehidupan di laut
dalam. Sehingga relatif lebih aman dan nyaman seperti bersandar di pundak
pacar, eh.
3.Habitat Beraneka Ragam Organisme (Nursery Area)
Seperti
disinggung sebelumnya, jika di padang lamun terdapat penyu dan dugong. Selain
itu, juga ada beraneka macam ikan-ikan kecil yang menetap di antara rerimbunan
jurai-jurai lamun. Cacing, ketam, udang, teripang (timun laut), bulu babi, ikan
baronang, rajungan, serta moluska (siput dan kerang). Keanekaragaman satwa
tersebut memiliki nilai ekonomis sangat tinggi.
Bagaimana Lamun Menyerap Polusi?
Selain
tiga manfaat utama di atas, lamun yang hidup di dasar laut (substrat) berpasir,
berlumpur, hingga berbatu ternyata juga menangkap
sedimen dan mengendapkan partikel terlarut dalam air laut. Sehingga ia
berperan mengurangi kekeruhan perairan. Jika melihat air laut yang jernih, kita
patut berterima kasih karena “kerja keras” si lamun ini salah satunya.
Lamun
juga mampu meredam gelombang laut yang akan menyerang daratan. Akar-akar lamun
dapat mencengkeram dasar laut sehingga mencegah abrasi. Ancaman pulau tenggelam bisa diminimalisir oleh “pahlawan” lamun.
Sebagai
produsen primer yang bisa membuat makanannya sendiri, lamun memerlukan sinar matahari, nutrien (nitrogen dan fosfor), serta karbondioksida.
Lamun akan memfiksasi karbon organik untuk memasuki rantai makanan dan melakukan proses
dekomposisi (menghancurkan) biomassa sebagai serasah.
Dengan
kata lain, padang lamun membantu mengurangi
laju perubahan iklim dengan menyerap sejumlah emisi karbon. Padang lamun
menjadi agen Blue Carbon,yakni bagian
vegetasi pesisir yang siap menyerap karbondioksida (carbon sink). Lamun adalah penumpas #SelimutPolusi yang kerap
terlupakan.
Belakangan
ini, upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sudah banyak dilakukan oleh
para pakar. Namun lebih banyak fokus pada vegetasi darat seperti hutan hujan
tropis dan perkebunan (green carbon) yang
sering mengabaikan peran ekosistem
pesisir. Padahal lamun memiliki
kecepatan tumbuh dan produktivitas tinggi (500-1000 gC/m2/tahun).
Emisi gas rumah kaca paling besar yang dihasilkan oleh aktivitas manusia adalah karbondioksida (CO2), yaitu
sebesar 55%. Sementara itu, sekitar 93% CO2 yang ada di bumi
disimpan dalam lautan. Hal ini salah satunya berkat kemampuan lamun menyerap CO2 melalui
proses fotosintesis.
Karbon
yang diserap oleh lamun sebagian digunakan sebagai energi untuk fotosintesis. Dan sebagian lainnya disimpan dalam jaringan-jaringan tubuhnya
dalam bentuk biomassa. Biomassa lamun merupakan satuan gram (berat kering maupun
berat abu) bagian tubuh di atas substrat (daun, buah, batang, dan bunga) serta
bagian di bawah substrat (akar dan juga rimpang) per m2 (gbk/m2).
Kandungan
karbon pada lamun menggambarkan seberapa besar CO2 terlarut dalam
air laut yang dapat diikat lamun. Berdasarkan penelitian Graha et al. (2016) menunjukkan bahwa
rata-rata stok karbon lamun 20,68 gC/m2
di Pantai Sanur, Bali. Sedangkan total stok penyimpanan karbon keseluruhan area
mencapai 66,60 ton (322 Ha). 60% bagian
bawah substrat dan 40% stok karbon bagian atas substrat.
Ganasnya Karbondioksida Bagi Kehidupan di
Laut
Emisi karbondioksida yang dipancarkan ke
udara dibedakan berdasarkan sumbernya, yaitu:
1.Mobile Transportation (sumber bergerak).
2.Stationary Combustion (sumber tidak
bergerak) seperti perumahan.
3.Industrial Processes (proses industri).
4.Solid Waste Disposal (pembuangan limbah).
Emisi CO2 juga dikategorikan
menjadi:
1.Emisi
Langsung
Emisi
langsung dari aktivitas atau sumber ruang batas seperti kendaraan bermotor.
2.Emisi
Tidak Langsung
Emisi
dari aktivitas dalam ruang batas yang ditetapkan seperti konsumsi energi rumah
tangga.
Bertambahnya kadar karbondioksida dapat meningkatkan temperatur lautan. Ketika
CO2 memasuki air laut, maka akan terjadi pembentukan asam karbonat
(H2CO3). Selanjutnya akan memisahkan bikarbonat (HCO3-)
dengan senyawa hidrogen (H). Penambahan senyawa hidrogen menyebabkan penurunan
tingkat keasaman lautan. Dampaknya akan mengubah kondisi lingkungan perairan
dan tingkah laku ikan. Bahkan kematian ikan
laut mencapai 50% akibat peningkatan suhu laut secara ekstrem sebesar
1,3-2,4 derajat Celcius.
Bagaimana Kondisi Lamun Saat Ini?
Tim
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
melaporkan bahwa persentase tutupan
lamun di perairan laut Indonesia adalah 40% atau 150 ribu hektar. Sementara
itu, sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004, padang lamun
dengan tutupan di bawah 40% masuk kategori 'kurang
sehat'.
Selanjutnya,
Duarte et al. (2012) dalam Graha et al. (2016) lamun hanya menyita luasan laut kurang dari 0,1%.
Namun, padang lamun dapat menyimpan
sekitar 20% dari total karbon di laut. Mirisnya, saat ini kerusakan ekosistem lamun di seluruh lautan
Indonesia mencapai 75-90%.
Sebagai
kawasan konservasi perairan, sungguh disayangkan jika kerusakan lamun dibiarkan
begitu saja. Pasalnya, potensi ekonomi
yang tergerus akibat hilangnya padang lamun mencapai Rp 251,48 juta per hektar selama setahun. Berbagai jenis organisme
laut tak lagi memiliki tempat mencari makan. Bencana alam bisa saja datang
tanpa ada aba-aba.
Selimut polusi membuat
bumi semakin panas dan menyebabkan perubahan iklim. Tanpa adanya lamun, apa
yang ditakutkan benar-benar berubah menjadi nyata. Bukan hanya hutan di
daratan, lamun mampu menjadi salah satu solusi untuk mengatasi polusi dan
perubahan iklim pula.
Apa yang Bisa Dilakukan Untuk Lamun?
Lamun yang dimanfaatkan masyarakat (Dokumentasi pribadi)
Pada
umumnya, masyarakat awam belum memahami apa itu lamun dan manfaatnya bagi alam.
Seperti pada foto di atas, saya menemukan lamun yang dimanfaatkan masyarakat
sebagai pakan ternak. Mereka masih menganggap lamun tersedia cuma-cuma dan boleh
dipergunakan kapanpun.
Belajar lamun bersama peneliti LIPI (Dokumentasi pribadi)
Sedangkan
kegiatan manusia khususnya di wilayah
pesisir yang tak ramah lingkungan semakin masif. Misalnya penangkapan ikan
dengan alat tangkap merusak (cantrang, payang, dan bom ikan), industri
pelabuhan, pembangunan pemukiman, dan rekreasi. Reklamasi pantai untuk kawasan industri secara
langsung juga meningkatkan tekanan pada lamun. Berbagai pencemaran termasuk limbah
rumah tangga, perikanan (tambak), dan pertanian berdampak pada penurunan
kondisi lamun.
Sebagai
pecinta laut (Thallasophile), saya berusaha melakukan langkah-langkah sederhana
untuk menyelamatkan kelestarian lamun. Contohnya menyebarkan informasi tentang lamun pada sebuah artikel yang
dipublikasikan pada laman Beranda Inspirasi. #UntukmuBumiku,
saya juga pernah belajar langsung kepada peneliti lamun dari LIPI di
Pulau Tidung, Kepulauan Seribu. Serta berkesempatan melaksanakan transplantasi lamun untuk memulihkan
padang lamun yang hilang/rusak.
Transplantasi lamun di Pulau Tidung (Dokumentasi pribadi)
Untuk
menghadirkan lamun dalam keabadiaan di bumi, saya tidak bisa sendiri. Saya
perlu bantuan semua orang sebagai #TeamUpForImpact. Jika kamu bertanya apa yang
harus dilakukan? Cukuplah jadi bijaksana dengan ekosistem yang ada di laut.
Kamu bisa membagikan artikel ini, supaya lebih banyak orang yang sadar akan keberadaan
lamun. Sekarang kamu tahu kan, kalau Laut Punya Lamun Si Pahlawan Karbon?
Kamu
juga bisa gabung Team Up For Impact di laman berikut. Bisa nanam pohon tanpa
kotor-kotoran loh. Gimana caranya? Coba cek aja…
Sumber Rujukan:
Aqualdo,
N., Eriyati, & Indrawati, T. (2012). Penyeimbangan lingkungan akibat
pencemaran karbon yang ditimbulkan industri warung internet di Kota Pekanbaru. Jurnal Ekonomi, 20 (3), 1-11.
Graha,
Y. I., Arthana, I W., & Karang, I W. G. A. (2016). Simpanan karbon padang
lamun di kawasan Pantai Sanur, Kota Denpasar. Jurnal Ecotrophic, 10 (1), 46-53.
Nuary,
Z. A. (2020). Dampak perubahan temperatur dan karbondioksida lingkungan
terhadap kondisi ikan karang. Jurnal
Perikanan dan Kelautan, 25 (1), 64-69.
Di sebuah desa terpencil, hiduplah seorang
wanita di rumah beratap reyot dan beralas tanah. Wana namanya, kendati demikian
ia dianugerahi paras rupawan. Sementara itu, seorang pangeran bernama Arta sedang
berlatih berburu ke hutan dekat desa. Arta terkesima melihat indahnya keelokan
ciptaan Tuhan dalam raut wajah Wana
Wana dan Arta jauh berbeda, dipisahkan oleh
status sosial. Keduanya menyadari bahwa mereka tak bisa bersatu seutuhnya.
Dari kisah tersebut, mengingatkan saya pada
sebuah pertanyaan, yakni:
“Dapatkah
ekonomi dan lingkungan berjalan beriringan?”
Wana
berarti hutan yang menggambarkan keindahan alam dan menyajikan keanekaragaman
hayati. Sedangkan Arta memiliki makna uang yang menjurus kepada ekonomi.
Antara lingkungan dengan ekonomi, hampir
selalu berlawanan. Seperti kata persamaan matematika garis singgung. “Di mana sebuah garis hanya menyentuh atau
menyinggung kurva”.
Hal ini berawal dari yang namanya pembangunan. Gagasan pembangunan dalam
suatu negara timbul dengan dalih menyejahterakan masyarakat. Kita ambil contoh
paling mudah, misalnya untuk mendirikan sebuah rumah. Kita membutuhkan kayu sebagai tiang, pasir sebagai bahan bangunan, batu kapur, dan masih banyak lainnya.
Dari mana kita dapat memperoleh bahan-bahan tersebut kalau bukan dari alam?
Jadi mau tidak mau, ketika pembangunan (ekonomi) sedang digalakkan,
maka ada lingkungan (ekologi) yang dikorbankan.
Sebuah
konflik antara alam dan ekonomi sering kali dibintangi oleh dua tokoh besar.
Yakni masyarakat yang menuntut dan
Pemerintah sebagai pihak yang dituntut dan berkuasa (governance).
Padahal
ada satu aktor lagi yang turut andil dan tidak bisa disepelekan dampak
kegiatannya, yakni perusahaan. Perusahaan
sebagai pelaku ekonomi, secara sadar maupun tidak langsung memanfaatkan sumber daya alam sebagai bahan baku produksi. Seperti
air, bahan pangan, daya listrik (batu bara), limbah yang dihasilkan, dan
lain-lain.
Sehingga,
perusahaan juga
bertanggung jawab bukan hanya dalam mendongkrak ekonomi, tetapi menyelamatkan
lingkungan dari kerusakan.
APRIL(Asia
Pacific Resources International Limited) Group adalah produser bubur kertas (pulp) dan produk jadi kertas yang
beroperasi di Sumatera. Perusahaan ini sudah berdiri sejak tahun 1993 dengan
membawa misi merehabilitasi hutan dan konservasi alam. Hasil produksi APRILtelah terjual di 70 negara pada tahun 2021. Dengan
rincian 90% bubur kertas, 75%
kertas ke pasar Asia Pasifik, dan 25% pemasaran ke Eropa, Timur Tengah, serta
Afrika.
Setiap tahunnya,
APRIL
Groupmelakukan kegiatan-kegiatan yang berdampak positif terhadap alam.
Dengan kata lain, APRIL2030 mendukung
pemerintah dalam mewujudkan Ekonomi Hijau.
“Keberlanjutan
adalah bagian dari bisnis. Di APRIL Group,
keberlanjutan yang dimaksud ialah menyampaikannya, memimpin, dan mengarahkan.
Kebutuhan dan keinginan dalam keberlanjutan datang dari dalam perusahaan.
Karena dengan mempertahankan keberlanjutan
menjadi jangka panjang sebuah bisnis”.
-Praveen
Singhavi -
(Presiden APRIL Group)
Lantas,
apa sajakah yang telah dilakukan oleh APRIL Group?
Berikut rincian laporan pelaksanaan
program pada tahun 2021
Rehabilitasi Lahan
Manajemen Hutan
5%
Peningkatan produktivitas penanaman
81%
Sumber daya kayu bersertifikat CERP
100%
Bubur kertas berlisensi CERP dan FSC
Biodiversitas dan
Ekosistem
Bersama
WCS melakukan upaya konservasi
Riset
Lahan Gambut
Validasi
emisi karbon berdasarkan VERRA Verified
Carbon Standard
Mengidentifikasi satwa
terancam punah, Harimau Sumatera
Efisiensi Sumber Daya
96,1%
Penanganan limbah kimia
35%
Pengurangan limbah padat ke tanah
16%
Meminimalisir penggunaan bahan bakar fosil
Perjanjian Stakeholders
Dialog dan Kolaborasi
Berpartisipasi di UN Climate Change Conference (COP26)
Restorasi
dan Rehabilitasi di Public Private Partnership (PPP)
Konsumen
Merilis
aplikasi APRIL Connect App
20.000
Ton
Sampah
kertas didaur ulang
Penghargaan
Skor B
Pengendalian Hutan CDP di tahun 2020
69,1%
Asesmen
SPOTT ESG Policy and Transparency di peringkat 9 tahun 2020
Apabila
dilihat dari definisinya, ekonomi hijau (green
economy) adalah perekonomian yang bertujuan mencapai kesetaraan sosial
masyarakat serta mengurangi risiko kerusakan lingkungan. Sehingga dalam proyek
ekonomi diharapkan untuk mempertimbangkan aspek lingkungan termasuk pengurangan
gas rumah kaca (GRK).
APRIL Groupberpedoman kepada SDG’s untuk
mengimplementasikan ekonomi hijau, yang terdiri dari:
1.Penanggulangan Ancaman
Perubahan Iklim
Mempercepat
transisi perusahaan yang mengedepankan ekonomi rendah karbon. Meliputi
manajemen lahan, mengurangi produksi GRK sampai 25%, serta mengeksplorasi energi
baru dan terbarukan (EBT).
2.Pengendalian Lahan
Memperjuangkan konservasi alam
dengan restorasi hutan dan rehabilitasi. Berinvestasi dalam penelitian silvikultur
dan inovasi teknologi produktivitas serat perkebunan mencapai 50%.
3.Partisipasi
Masyarakat
Menjunjung
tinggi kesetaraan baik kepada karyawan, masyarakat adat, supplier, sampai lembaga penelitian. Mengembangkan program di
bidang pendidikan, kesehatan, dan memberantas kemiskinan.
4.Pertumbuhan Berkelanjutan
Memastikan
efisiensi sumber daya dan penggunaan material secara berkelanjutan. Mengadopsi
prinsip ekonomi sirkular dalam proses manufaktur sampai mengurangi jumlah
sampah yang dikirim ke TPA.
Dengan kata
lain, tulisan ini telah menjelaskan secara gamblang mengenai kontribusi APRIL Group dalam ekonomi hijau.
Semoga hal ini menjadi pemantik bagi perusahaan-perusahaan di seluruh dunia
untuk seyogyanya menyadari keberlanjutan (sustainability) alam. Serta melibatkan semua pihak
alias seluruh umat manusia demi nasib bumi.