Di sebuah desa terpencil, hiduplah seorang wanita di rumah beratap reyot dan beralas tanah. Wana namanya, kendati demikian ia dianugerahi paras rupawan. Sementara itu, seorang pangeran bernama Arta sedang berlatih berburu ke hutan dekat desa. Arta terkesima melihat indahnya keelokan ciptaan Tuhan dalam raut wajah Wana
Wana dan Arta jauh berbeda, dipisahkan oleh status sosial. Keduanya menyadari bahwa mereka tak bisa bersatu seutuhnya.
Dari kisah tersebut, mengingatkan saya pada
sebuah pertanyaan, yakni:
“Dapatkah ekonomi dan lingkungan berjalan beriringan?”
Wana berarti hutan yang menggambarkan keindahan alam dan menyajikan keanekaragaman hayati. Sedangkan Arta memiliki makna uang yang menjurus kepada ekonomi.
Antara lingkungan dengan ekonomi, hampir selalu berlawanan. Seperti kata persamaan matematika garis singgung. “Di mana sebuah garis hanya menyentuh atau menyinggung kurva”.
Hal ini berawal dari yang namanya pembangunan. Gagasan pembangunan dalam suatu negara timbul dengan dalih menyejahterakan masyarakat. Kita ambil contoh paling mudah, misalnya untuk mendirikan sebuah rumah. Kita membutuhkan kayu sebagai tiang, pasir sebagai bahan bangunan, batu kapur, dan masih banyak lainnya. Dari mana kita dapat memperoleh bahan-bahan tersebut kalau bukan dari alam?
Jadi mau tidak mau, ketika pembangunan (ekonomi) sedang digalakkan, maka ada lingkungan (ekologi) yang dikorbankan.
Sebuah konflik antara alam dan ekonomi sering kali dibintangi oleh dua tokoh besar. Yakni masyarakat yang menuntut dan Pemerintah sebagai pihak yang dituntut dan berkuasa (governance).
Padahal ada satu aktor lagi yang turut andil dan tidak bisa disepelekan dampak kegiatannya, yakni perusahaan. Perusahaan sebagai pelaku ekonomi, secara sadar maupun tidak langsung memanfaatkan sumber daya alam sebagai bahan baku produksi. Seperti air, bahan pangan, daya listrik (batu bara), limbah yang dihasilkan, dan lain-lain.
Sehingga, perusahaan juga bertanggung jawab bukan hanya dalam mendongkrak ekonomi, tetapi menyelamatkan lingkungan dari kerusakan.
Seperti
halnya dengan APRIL Group
APRIL (Asia Pacific Resources International Limited) Group adalah produser bubur kertas (pulp) dan produk jadi kertas yang beroperasi di Sumatera. Perusahaan ini sudah berdiri sejak tahun 1993 dengan membawa misi merehabilitasi hutan dan konservasi alam. Hasil produksi APRIL telah terjual di 70 negara pada tahun 2021. Dengan rincian 90% bubur kertas, 75% kertas ke pasar Asia Pasifik, dan 25% pemasaran ke Eropa, Timur Tengah, serta Afrika.
Setiap tahunnya, APRIL Group melakukan kegiatan-kegiatan yang berdampak positif terhadap alam. Dengan kata lain, APRIL2030 mendukung pemerintah dalam mewujudkan Ekonomi Hijau.
“Keberlanjutan
adalah bagian dari bisnis. Di APRIL Group,
keberlanjutan yang dimaksud ialah menyampaikannya, memimpin, dan mengarahkan.
Kebutuhan dan keinginan dalam keberlanjutan datang dari dalam perusahaan.
Karena dengan mempertahankan keberlanjutan
menjadi jangka panjang sebuah bisnis”.
- Praveen
Singhavi -
(Presiden APRIL Group)
Lantas,
apa sajakah yang telah dilakukan oleh APRIL Group?
Berikut rincian laporan pelaksanaan program pada tahun 2021
Rehabilitasi Lahan
Manajemen Hutan
5%
Peningkatan produktivitas penanaman
81%
Sumber daya kayu bersertifikat CERP
100%
Bubur kertas berlisensi CERP dan FSC
Biodiversitas dan
Ekosistem
Bersama
WCS melakukan upaya konservasi
Riset
Lahan Gambut
Validasi
emisi karbon berdasarkan VERRA Verified
Carbon Standard
Mengidentifikasi satwa
terancam punah, Harimau Sumatera
Efisiensi Sumber Daya
96,1%
Penanganan limbah kimia
35%
Pengurangan limbah padat ke tanah
16%
Meminimalisir penggunaan bahan bakar fosil
Perjanjian Stakeholders
Dialog dan Kolaborasi
Berpartisipasi di UN Climate Change Conference (COP26)
Restorasi
dan Rehabilitasi di Public Private Partnership (PPP)
Konsumen
Merilis
aplikasi APRIL Connect App
20.000
Ton
Sampah
kertas didaur ulang
Penghargaan
Skor B
Pengendalian Hutan CDP di tahun 2020
69,1%
Asesmen
SPOTT ESG Policy and Transparency di peringkat 9 tahun 2020
Memaknai Ekonomi Hijau
Bagi APRIL Group
Apabila dilihat dari definisinya, ekonomi hijau (green economy) adalah perekonomian yang bertujuan mencapai kesetaraan sosial masyarakat serta mengurangi risiko kerusakan lingkungan. Sehingga dalam proyek ekonomi diharapkan untuk mempertimbangkan aspek lingkungan termasuk pengurangan gas rumah kaca (GRK).
APRIL Group berpedoman kepada SDG’s untuk mengimplementasikan ekonomi hijau, yang terdiri dari:
1.
Penanggulangan Ancaman
Perubahan Iklim
Mempercepat
transisi perusahaan yang mengedepankan ekonomi rendah karbon. Meliputi
manajemen lahan, mengurangi produksi GRK sampai 25%, serta mengeksplorasi energi
baru dan terbarukan (EBT).
2.
Pengendalian Lahan
Memperjuangkan konservasi alam
dengan restorasi hutan dan rehabilitasi. Berinvestasi dalam penelitian silvikultur
dan inovasi teknologi produktivitas serat perkebunan mencapai 50%.
3. Partisipasi
Masyarakat
Menjunjung
tinggi kesetaraan baik kepada karyawan, masyarakat adat, supplier, sampai lembaga penelitian. Mengembangkan program di
bidang pendidikan, kesehatan, dan memberantas kemiskinan.
4.
Pertumbuhan Berkelanjutan
Memastikan efisiensi sumber daya dan penggunaan material secara berkelanjutan. Mengadopsi prinsip ekonomi sirkular dalam proses manufaktur sampai mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke TPA.
Dengan kata lain, tulisan ini telah menjelaskan secara gamblang mengenai kontribusi APRIL Group dalam ekonomi hijau. Semoga hal ini menjadi pemantik bagi perusahaan-perusahaan di seluruh dunia untuk seyogyanya menyadari keberlanjutan (sustainability) alam. Serta melibatkan semua pihak alias seluruh umat manusia demi nasib bumi.
Salam Konservasi! Salam…
0 komentar