Petualangan Mengulik Bahan Bakar Nabati di Sekitar Lingkungan Rumah

Peta Petualangan Mencari Bahan Bakar Nabati

Ah, saya jadi teringat ketika dulu ditanya,

“Mengapa memilih kuliah di perikanan kelautan?”.

Jawaban saya saat itu tergolong sederhana,

“Karena saya suka laut”.

Padahal, sesungguhnya harapan saya menempuh pendidikan di bidang ilmu berkaitan dengan alam adalah untuk mengeksplorasi dan mengetahui kekayaan Sumber Daya Alam Indonesia lebih dekat.

***

Perkebunan Tebu
Perkebunan Tebu (Dokumentasi Pribadi)

Indonesia menjadi negara megabiodiversitas kedua setelah Brasil di dunia. Bukan tanpa alasan sebutan itu disematkan, mengingat Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Beragam jenis flora dan fauna hingga yang paling langka seperti Raflesia arnoldi dan Komodo juga ada di negara kita. Begitu pula dengan potensi bahan bakarnya yang tidak hanya berasal dari energi fosil, tetapi juga dari tumbuhan dan hewan (bahan bakar nabati).

Mencari sumber bahan bakar nabati tidaklah susah, terlebih bagi saya yang bertempat tinggal di pedesaan dan sekitar pesisir pantai. Sebab kealamian dan keasrian begitu mudah dijumpai dibandingkan hidup bersama hiruk pikuk perkotaan. Bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel merupakan semua bahan bakar yang berasal dari minyak nabati. BBN bisa berupa biodiesel, biogas, bioetanol, dan bio-oil (minyak nabati murni).

Nah, kali ini, saya dan keponakan berniat untuk menunjukkan potensi bahan bakar nabati di sekitar rumah sembari bergowes ria nih. Yuk, simak kisah hasil petualangan kami...

#1 Minyak Jelantah

Minyak Jelantah
Minyak Jelantah (Dokumentasi Pribadi)

Siapa yang suka gorengan? Hayo, ngaku aja, semua pasti suka makanan yang di goreng. Dilansir dari nakita, profesional Gastronomi Indonesia, Indra Ketaren mengungkapkan bahwa hampir semua menu makanan andalan orang Indonesia pasti di goreng.

Namun, ternyata ada sisi negatif dari kebiasaan mengonsumsi gorengan yang tidak hanya menyerang kesehatan, tetapi juga memperparah kondisi lingkungan. Direktur Yayasan Lengis Hijau menyebutkan bahwa Indonesia memproduksi 13 juta ton minyak jelantah atau setara 16,2 miliar Liter per tahun.

Dari begitu banyaknya jumlah limbah minyak jelantah tersebut, ternyata bisa dimanfaatkan menjadi biodiesel. Berdasarkan hasil penelitian Adhari dkk (2016), minyak jelantah memiliki komposisi asam lemak yang tinggi dengan kadar alkil ester 98,42% (SNI kadar alkil ester minimal biodiesel 96,5%).

#2 Jarak Pagar

Jarak Pagar
Jarak Pagar di tepi sungai (Dokumentasi Pribadi)

Tanaman dengan nama latin Jatropha curcas Linneaus ini saya temui di sungai sekitar 100 meter dari rumah. Sebagai tanaman semak belukar, siapa sangka bahwa Jarak Pagar bisa menjadi bahan baku biodiesel. Dari 1 ton biji kering Jarak Pagar dapat menghasilkan 200 300 Liter minyak jarak.

Jarak Pagar sudah dikenal sejak lama bisa menjadi alternatif pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM) seperti solar. Bahkan Widayana (2010) menyatakan bahwa biodiesel (B5) dari Jarak Pagar dan kelapa sudah dipasarkan di 201 pom bensin di Jakarta serta 12 pom bensin di Surabaya.

#3 Kotoran Kambing

Kambing
Kambing (Dokumentasi Pribadi)

Pernah dengar bahwa kotoran ternak ruminansia seperti sapi, kambing, kerbau, dan domba mampu menyebabkan 21 kali lipat kerusakan lapisan ozon dibandingkan karbondioksida (CO2)? Mengapa bisa begitu? Karena kandungan gas metana (CH4) yang ada di dalam kotoran ternak. Bahkan nih, sapi kalau sedang kentut saja bisa mempercepat global warming.

Tidak, saya tidak sedang bercanda. Ini memang fakta!

Namun, daripada menyalahkan sapi yang bahkan tidak tahu apa salahnya sendiri. Lebih baik kita sebagai manusia mengubah mindset, mencari peluang di setiap kesempatan. Gas metana penyebab lubang pada ozon ini, jika dimanfaatkan dengan baik bisa menjadi sumber bahan bakar biogas.

Gas Metana Kotoran Ternak
Gas Metana Kotoran Ternak (Dokumentasi Pribadi)

Kebetulan saya menemukan peternakan kambing milik tetangga. Kali ini saya lebih fokus kepada potensi kotoran kambing sebagai biogas. Berdasarkan hasil penelitian Putri dkk (2014), jumlah rasio C/N kotoran kambing dan sapi masing-masing sebesar 12 dan 24. Padahal rasio C/N yang baik untuk pembuatan biogas yakni 25-30. Oleh karena itu, kotoran kambing tidak cukup baik jika dibuat menjadi biogas. Sehingga peneliti menyarankan untuk melakukan campuran kotoran kambing dan sapi.

#4 Sabut Kelapa

Penjual Kelapa
Penjual Kelapa (Dokumentasi Pribadi)

Rumah saya juga dekat dengan pasar tradisional, penjual kelapa begitu banyak ditemukan. Sebagai tumbuhan dengan seribu manfaat, seluruh bagian kelapa bisa digunakan termasuk sabutnya. Sabut kelapa berpotensi menjadi bioetanol karena mengandung selulosa sebesar 43,44%.

Hasil penelitian Ayuni dan Hastini (2020) menampilkan bahwa konsentrasi bioetanol sabut kelapa dengan hidrolisis HCl 4 M, yaitu sekitar 73,88 mg. Bioetanol bisa digunakan sebagai pengganti bahan bakar premium untuk kendaraan seperti mobil dan sepeda motor.

#5 Ampas Tebu

PTPN XI Pabrik Gula Gending
PTPN XI Pabrik Gula Gending (Dokumentasi Pribadi)

Mayoritas penduduk di desa saya bekerja di PT. Perkebunan Nusantara XI, Pabrik Gula Gending, yang hanya berjarak sekitar 280 meter dari rumah. Alhasil, kebun tebu menjadi komoditas penting di desa saya, Sebaung. Penduduk sekitar juga banyak yang mencari peruntungan dengan berjualan es tebu.

Produksi gula yang melimpah di pabrik ini yang jumlahnya hingga berton-ton, tentunya juga menghasilkan limbah berupa ampas tebu.  Limbah tebu ini tidak dibuang percuma, tetapi digunakan sebagai bahan pembakaran mesin ketel. Limbah tebu yang disebut sebagai blotong oleh masyarakat sekitar juga diperjualbelikan untuk kebutuhan bahan bakar rumah tangga.

Ampas Tebu
Ampas Tebu (Dokumentasi Pribadi)

Selain dibakar, ampas tebu juga bermanfaat sebagai bahan baku bioetanol. Ampas tebu sangat kaya dengan kandungan selulosa yang menjadi dasar pembuatan bioetanol. Hasil penelitian Guiherme (2019) dalam Nurjanah dan Aznury (2021) menggunakan ampas tebu dengan metode hidrolisis serta fermentasi Kluyveromyces marxianus dan Saccharomyces cerevisiae menghasilkan bioetanol dengan konsentrasi sebesar 88% w/v.

#6 Ampas Tahu

Ampas Tahu Bahan Baku Tempe Mendoan
Ampas Tahu Bahan Baku Tempe Mendoan (Dokumentasi Pribadi)

Suka tempe mendoan atau menjes? Kira-kira tau apa bahan baku tempe mendoan? Jawabannya adalah Ampas Tahu. Di balik rasa yang enak, ternyata tempe mendoan dibuat dari limbah, ya. Selain bisa dibuat menjadi tempe mendoan, ampas tahu bisa diolah menjadi bioetanol loh.

Limbah industri tahu dibagi menjadi dua bentuk, yakni limbah cair dan limbah padat. Limbah padat dihasilkan dari proses pembersihan kedelai (batu, kulit kedelai, tanah, dan benda lain) sebesar 0,3%. Serta 25-35% bubur sisa saringan kedelai yang disebut ampas/onggok tahu. Limbah padat tahu mengandung 42-49% selulosa yang bisa dipertimbangkan menjadi bioetanol. Musita (2019) telah meneliti konsentrasi etanol pada ampas tahu dan didapatkan nilai sebesar 4,77% b/b.

#7 Mangrove

Buah Mangrove Avicennia
Buah Mangrove Avicennia (Dokumentasi Pribadi)

Mangrove?

Bukankah mangrove bagian dari konservasi yang harus dilindungi dan dijaga kelestariannya?

Kok malah dijadikan sebagai bahan bakar?

Seringkali saya menemui pertanyaan semacam itu, padahal makna dari konservasi kurang lebih adalah memanfaatkannya dengan tetap bertanggung jawab dan melestarikannya. Sementara preservasi merupakan upaya untuk menjaga alam agar tidak rusak.

Jadi, memanfaatkan mangrove boleh-boleh saja asal tidak berlebihan. Termasuk memanfaatkannya sebagai bahan bakar biodiesel. Ada banyak jenis mangrove yang bisa ditemui di Indonesia, diantaranya Avicennia sp. dan nyamplung (Callophylum inophyllum). Suyono dkk (2017) telah menemukan bahwa biji nyamplung menghasilkan minyak mentah sebesar 82,87% dengan kadar alkil ester biodiesel 99,71 %.

#8 Lamun

Lamun
Lamun (Dokumentasi Pribadi)

Lamun (seagrass) sering disejajarkan dengan rumput laut (seaweed). Padahal keduanya merupakan dua spesies tumbuhan yang berbeda. Apabila rumput laut dikenal sebagai bahan pangan dan kosmetik. Lamun yang terlihat seperti hamparan rumput di bawah air laut ini, masih belum dikenal banyak orang.

Di daerah sekitar saya tinggal, tepatnya Pesisir Gending, lamun digunakan sebagai pakan ternak dengan cara dijemur terlebih dahulu di bawah sinar matahari. Padahal lamun yang termasuk tanaman tingkat tinggi, sangat berpotensi menjadi bahan baku bioetanol. Peneliti asal IPB (Institut Pertanian Bogor) yang diketuai Kusumastanto pada tahun 2016, menyatakan bahwa kandungan lignin dan serat lamun lebih tinggi daripada makroalga. Namun, pemanfaatan lamun menjadi bioetanol perlu penelitian lebih lanjut mengingat perannya yang sangat besar sebagai habitat banyak organisme akuatik. 

***

Yeay, selesai sudah petualangan saya bersama keponakan dalam menemukan potensi bahan bakar nabati (BBN) di sekitar rumah. Bahan-bahan tersebut yang disebutkan di atas hanya segelintir dari miliaran sumber daya alam yang ada di Indonesia. Mengingat bahwa Indonesia adalah negara megabiodiversitas kedua dunia.

Apabila kamu tertarik untuk mendalami dan mencari tahu informasi terkait BBN. Kamu bisa mengunjungi situs milik Yayasan Madani Berkelanjutan. Inilah kisah saya, bagaimana dengan kisahmu?

#MadaniBerkelanjutan #IndonesiaTangguh

0 komentar