Beberapa
waktu lalu, beredar foto seorang anak sedang berguling-guling di atas tanah
sebab keinginannya tidak terpenuhi. Bagi sebagian orang tua, peristiwa ini
mungkin menjadi hal biasa. Namun hal ini menjadi unik ketika orang tua membiarkan
anaknya meluapkan emosinya tersebut.
“Aku mau mobil”, sambil merengek dan menunjuk sebuah permen berhadiah mobil di rak makanan meja kasir.
Saya
yang kelimpungan menahan malu terpaksa menuruti kemauan keponakan saya yang
ingin membeli mainan untuk kesekiankalinya. Pada awalnya, saya mengira keponakan
saya hanya nakal biasa. Tetapi rasa penasaran memuncak sebab meyakini bahwa ia
(keponakan) adalah anak luar biasa. Iya, setelah beberapa tahun, saya baru
mengetahui bahwa keponakan saya mengalami tantrum. Sebab berdasarkan pengakuan
ibu kandung saya, saya sendiri dan kakak saya tidak berbuat hal serupa.
Apa Itu Tantrum?
Tantrum adalah ledakan emosi yang biasanya ditemui pada anak-anak ditandai dengan temperamen, keras kepala, menangis, berteriak, membangkang, marah, tidak sabaran, suka mengatur, atau bahkan melempar barang ketika keinginannya tidak terpenuhi.
Tantrum biasanya dialami oleh anak-anak sebab mereka belum memiliki kemampuan menyampaikan keluh kesah melalui kata-kata. Karena pada anak-anak yang masih berada pada masa pertumbuhan, ia sedang berusaha mengeksplorasi diri dan bahasa. Alhasil, gejolak amarahlah yang ditunjukkan oleh anak tantrum dibandingkan mengucapkannya.
Namun, tantrum juga dapat ditemui pada remaja bahkan
dewasa apabila tidak cepat ditangani sejak dini. Saya dulu mempunyai teman
tantrum saat kelas 6 SD. Ia suka berteriak dan melempar kursi di dalam kelas
ketika marah. Wah, tantrum tidak bisa dianggap sepele, ya?
Mengapa Anak Bisa Tantrum?
Tantrum muncul di saat anak mengalami frustasi, kesal, dan marah. Biasanya saat anak merasa lelah, lapar, atau menginginkan sesuatu tetapi tidak bisa mengungkapkannya. Kemampuan kebahasaannya yang masih rendah ini akan berkurang tatkala anak semakin besar.
Tidak jarang, tujuan amukan anak muncul sebagai cara agar orang tuanya menuruti segala keinginannya. Si anak akan mengulangi perbuatan tersebut di kemudian hari. Apabila terus dibiarkan, tentunya menjadi kebiasaan buruk bagi anak dan membentuk karakter pembangkang.
Sebenarnya
jika diulas lebih mendalam, ada beberapa penyebab anak bisa tantrum? Simak
penjelasannya.
#1 Anak Kurang Cakap Berbicara
Berdasarkan pengalaman pribadi, keponakan saya cenderung lambat berbicara. Hingga saat ini di usia 7 tahun, ia masih sering mengucapkan kalimat dengan susunan kata yang salah. Beberapa orang yang berbicara dengannya, mengakui cukup kesusahan memahami kosa kata keponakan saya yang terbatas.
Lawan
bicara keponakan saya sempat beberapa kali meminta untuk mengulang kembali
perkataannya. Alhasil, karena keponakan saya sebal dengan orang yang tidak dimengerti.
Ia lebih memilih untuk berteriak bahkan marah untuk meluapkan emosi.
#2 Orang Tua Terlalu Memanjakan Anak
Seperti penjelasan di atas, sesungguhnya anak-anak hanya tahu bahwa orang tuanya selalu menyayanginya. Anak hanya ingin menghabiskan waktu dengan bermain-main. Anak akan selalu meminta mainan, makanan, dan barang identik untuk anak-anak lainnya.
Karena
rasa sayang orang tua dengan selalu membelikan
mainan, sering disalahartikan oleh si anak. Anak akan terbiasa ‘menuntut’ orang
tua untuk menuruti segala kemauannya. Sehingga, ketika suatu hari orang tua
tidak bisa mengabulkan, anak akan mencoba memaksa dengan cara ‘tantrum’.
#3 Cuek dengan Pendapat Anak
Rasa ingin tahu anak selalu besar, hal ini ditunjukkan dengan segala pertanyaan yang terlontar dari mulutnya. Anak akan selalu menanyakan berbagai hal untuk menjawab rasa penasarannya. Beberapa orang tua yang enggan dibombardir pertanyaan inilah yang membuat anak marah. Hingga pada akhirnya ia berteriak dan tantrum.
“Anak
lebih membutuhkan contoh dibandingkan kritik”
-
Jospeh
Joubeh -
Cara Mengatasi Tantrum Pada Anak
Tantrum
dapat dianggap berbahaya bagi anak apabila:
X Seringkali
mengamuk dan mengganggu.
X Tantrum dalam waktu lama.
Seperti dalam berita tentang seorang anak mengamuk selama 8 jam, pada penerbangan
Jerman menuju Amerika Serikat.
X Melukai orang lain dan melempar barang.
X Menyakiti diri sendiri.
Lalu, bagaimana sikap kita
agar anak terhindar dari tantrum berlebihan? Berdasarkan pengalaman, membaca
buku, dan seminar-seminar parenting. Berikut
cara yang bisa dilakukan ketika mendapati anak tantrum.
#1 Bebas Tapi Awas
Seperti unggahan Reed Wanadi melalui akun Facebook-nya, beliau mengatakan untuk membiarkan anak berperilaku ‘tantrum’ ketika keinginannya tidak dituruti. Supaya anak merasakan bahwa tidak selamanya apa yang dinginkan dapat terpenuhi. Bukan bermaksut kejam, tetapi hal ini dilakukan agar anak tidak menjadikan tangisan sebagai ‘senjata’ di kemudian hari.
Biarkan anak teriak, marah, atau menangis dan tunggu
hingga ia merasa lelah. Jika anak lelah maka ia berhenti menangis dengan
sendirinya. Dan sesekali tawarkan anak minum. Karena menuruti kemauan tidak akan menyelesaikan persoalan.
#2 Jauhkan dari Benda Berbahaya
Beberapa kali keponakan saya
mengancam dengan mengambil gunting atau benda tumpul lainnya. Tidak jarang ia
sampai memukul orang lain agar perhatian tertuju kepadanya. Ia juga suka
membanting barang apa saja yang ada di depan mata. Hal ini tentunya berbahaya,
sehingga lebih baik kondisikan tempat bersih dari benda-benda yang mengancam.
#3 Bawa Menjauh dari Kerumunan
Terkadang, tantrum pada
anak muncul di tempat tidak terduga seperti pada lingkungan ramai. Alhasil karena
ucapan banyak orang, misalnya:
"Duh, cuma mainan aja. Jadi
orang tua kok pelit".
"Gak kasian liat anak
gulung-gulung gitu?".
"Orang tuanya jahat banget sih, anak cuma minta mainan aja gak dibeliin."
Banyak orang tua yang memilih untuk menuruti keinginan
anak di tempat umum karena malu. Padahal cara tersebut tidak baik dalam proses
pembentukan karakter
anak. Jadi, lebih baik, ketika anak dalam tanda-tanda tantrum, segera bawa
menjauh dari banyak orang. Bawa menuju tempat yang sepi dan biarkan anak untuk
meluapkan amarahnya.
#4 Alihkan Perhatian
Anak kecil sangat mudah
melupakan sesuatu. Kita bisa menggunakan mainan kesukaannya untuk mengalihkan
perhatian anak saat tantrum. Berikan sesuatu hal unik seperti menunjukkan barang
lucu atau memperlihatkan video kartun agar anak menjadi tertarik.
#5 Peluk dan Ucapkan Perkataan Lembut
Beberapa orang tua juga ikut terpancing emosi tatkala anak mengamuk. Jika hal tersebut dilakukan, justru anak akan semakin marah berlebihan. Oleh karena itu, ucapkan perkataan memuji seperti, “kamu cantik”, “kamu anak baik”, “mama sayang kamu”, atau nyanyikan lagu kesukaannya. Dan lakukan sentuhan dengan memeluk tubuhnya dengan kasih sayang.
Ibnu Bathuthal berkata:
“Menyayangi anak yang masih kecil, memeluknya,
menciumnya, dan berlemah-lembut terhadapnya, adalah amalah yang Allah ridoi,
Allah akan membalasnya (di dunia dan akhirat).”
(Syarh Shahih al-Bukhori, 9/211)
#6 Jangan Gunakan Kekerasan
Anak adalah peniru yang handal. Ketika anak mendapatkan perlakuan kasar dari orang tua, ia akan menggunakan cara yang sama kepada orang lain termasuk keturunannya di masa depan. Ia akan membenarkan kekerasan seperti apa yang dialami.
Anak juga akan
merasa bahwa orang tuanya membencinya. Atau melabeli orang tuanya ‘jahat’. Gunakan
pola
asuh otoritatif (authoritative parenting), mendukung anak dengan tetap tegas
memberi batasan. Oleh karena itu,
hindari pukulan sebagai cara memberi pelajaran kepada anak tantrum.
#7 Ajarkan Anak Tentang Bertanggung Jawab
Jangan jadikan sikap memanjakan sebagai cara menunjukkan rasa cinta kepada anak. Ajarkan anak tentang bagaimana mengungkapkan keinginan melalui kata-kata, berikan reward hanya saat anak melakukan kebaikan, dan berikan pengetahuan terkait batasan menggunakan uang. Biarkan ia kecewa ketika tidak mampu melakukan sesuatu.
“Semakin kita melindungi anak
dari rasa kecewa, kekecewaan berikutnya di masa depan akan terasa lebih berat
baginya”
-
Fred G. Gorman -
Itulah
pengalaman saya menghadapi keponakan yang mengalami tantrum. Walaupun saya bukanlah
orang tua, tetapi pengetahuan terkait parenting mutlak diperlukan setiap
golongan. Karena dengan parenting yang
baik, akan membentuk karakter individu yang baik pula.
Daftar Referensi:
Herliafifah, R. dan Upahita, D. (2021). Tantrum pada anak: apa penyebabnya dan bagaimana cara mengatasinya?. https://hellosehat.com/parenting/anak-1-sampai-5-tahun/perkembangan-balita/tantrum-pada-anak/.
Pane, M. D. C. (2019). Begini cara mengatasi tantrum pada anak. https://www.alodokter.com/begini-cara-mengatasi-tantrum-pada-anak.
0 komentar