Keluarga Pendalungan dan Keluarga Arek, Meraih Cinta Kasih Walau Beda Keyakinan Serta Budaya

merayakan natal
Foto merayakan natal (Dokumentasi Pribadi)

Siang itu, sekitar tahun 2019, tepatnya pukul 13:00 WIB, aku hanya bisa berpasrah diri menunggu kehadiran seorang teman yang tak kunjung tiba. Sembari duduk termenung di depan salah satu fakultas tetangga di kampus dulu, Kota Malang. Aku biarkan peluh menetes menghadapi sengatan sinar mentari.

Disaat tubuhku mulai lelah dan dahaga telah menyapa. Tiba-tiba seorang wanita berpakaian panjang serba tertutup sengaja mendekatiku. “Ada apa ini?”, pikiran negatif segera berkecamuk di dalam kepalaku. “Mbak, boleh minta waktunya sebentar, boleh saya ajak berdiskusi?”, pinta dengan secuil senyum hangat menyungging di bibirnya. “Äh, boleh deh, daripada gabut”, pikirku kala itu.

“Mbak tau, kalau salah satu kota di Indonesia yang terkenal dengan penduduk Muslimnya, dinyatakan sebagai salah satu kota paling intoleran loh. Atau paling rendah toleransinya. Apakah mbak setuju dengan penyebutan itu? Padahal di agama kita (Islam), memang dilarang bla bla …”, ucapnya panjang lebar menjelaskan. Karena aku sudah kepalang kegerahan alias telinga sudah penuh dengan perkataan mbak itu (maaf), aku segera menjawab dengan kalimat singkat saja.

“He he he mbak, maaf ya, saya memang tidak terlalu paham agama. Tetapi saya terbiasa dari kecil dikelilingi oleh orang-orang heterogen, termasuk keluarga besar saya juga banyak yang beda agama. Jadi, diluar akidah, syariat dan lain-lain, saya tetap menjunjung tinggi toleransi”, ucapku penuh rasa yakin.

Setelah mendengar jawabanku, tidak disangka, mbak itu segera meminta izin untuk pamit. “Ah, lega juga hahaha”, aku cukup senang. Kemudian ada seorang laki-laki berkaos biru yang tidak sengaja mendengar percakapanku dan mbak-mbak tadi, segera menyahut. “Eh mbak, biarin orang kayak gitu, padahal urusan dosa atau nggak, kan urusan kita sama Tuhan saja. Yang penting kita berbuat baik kepada sesama, tidak membeda-bedakan. Saya saja dari SD sampai menikah di pesantren mbak, tapi aku gak pernah kepikiran seperti itu”, ujar bapak tersebut.


Hari Besar, Berkah Melebar

merayakan idul fitri
Foto merayakan idul fitri (Dokumentasi Pribadi)

Dulu aku begitu malu untuk mengakui bahwa beberapa anggota keluargaku ada yang tidak Muslim. Namun, seiring berjalannya waktu, aku tersadar bahwa pilihan keyakinan adalah hak mutlak setiap individu. Aku tidak bisa mengubah mereka seperti keinginanku, begitu pula mereka sebaliknya.

Hingga kali ini aku dengan bangga memperkenalkan keluarga berlatar belakang agama berbeda. Ayahku dulu Non Muslim, kemudian berpindah agama mengikuti ibu. Oleh karena itu, banyak saudara dari keluarga ayahku yang beragama Kristen. Jika dahulu aku terkesan menyembunyikan hal ini. Saat ini aku bisa lebih menerima. Bahkan aku juga pernah mengajak teman seagamaku ke rumah saudara Non Muslim.

Setiap Hari Raya Islam, Idul Fitri, keluargaku, dari umat Kristiani akan melontarkan ucapan selamat. Mereka juga rutin setiap tahun, mendatangi rumahku, bersuka cita bersama-sama merayakan hari suci umat Islam. Sebaliknya, saat Hari Natal, aku dan keluarga kandung ikut meramaikan hari kelahiran Yesus pula.

Entah orang lain akan mengatakan murtad, berdosa ataukah tidak. Yang aku tahu, ‘kami sekeluarga tahu batasan’. Kami mengetahui, mana yang dilarang dan mana yang boleh dilakukan. Seperti saat mengonsumsi makanan, saudara Non Muslim akan mengingatkan makanan apa saja yang haram, menyediakan tempat sholat walaupun di rumah mereka sedang menyelenggarakan pesta natal, dan lain-lain.

Karena aku percaya bahwa, “toleransi itu indah”. Pernyataan Mahfud MD. juga menjadi pemantik semangat keberagamaan bagi diriku bahwa, “toleransi itu dasarnya bukan semua agama sama. Tapi pemeluk setiap agama menghormati pemeluk agama lain yang meyakini kebenaran agama masing-masing”.


Dianggap Madura Swasta, Tak Mengapa

tapal kuda
Foto Peta Tapal Kuda dari Merdeka.com

Mungkin banyak orang yang mengatakan, “apa uniknya dari kisah itu?”. Iya, aku tahu bahwa tidak sedikit yang memiliki kisah serupa dengan pengalamanku. Namun, selain memiliki perbedaan agama, keluarga besarku ini memiliki keberagaman budaya.

Apakah kamu tahu tentang Budaya Pendalungan? Aku yakin bahwa hanya sedikit dari kalian yang mengetahui hal ini. Sebab berdasarkan polling kecil-kecilan kepada teman-teman sebaya di instagramku. Ternyata banyak yang tidak mengetahui istilah Pendalungan. Sekitar 77% Generasi Millenial dan Generasi Z dari 65 partisipan menyatakan tidak pernah mendengar kata ‘Pendalungan’.

survei pendalungan
Hasil survei terkait Pendalungan (Dokumentasi Pribadi)

Aku berasal dari Probolinggo, Jawa Timur. Sebuah kota kecil yang seringkali dianggap sama dengan salah satu daerah di Jawa Tengah, yaitu Purbalingga. Probolinggo itu berada di wilayah Tapal Kuda. Tapal Kuda adalah sebutan bagi kawasan di daerah Jawa Timur yang ketika diamati dari peta akan berbentuk seperti sepatu kuda. Sehingga di Tapal Kuda tidak hanya ada Kota/Kabupaten Probolinggo saja. Tetapi adapula Pasuruan, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi.

Sosiolog dari Australia, Hatley (1984), membagi wilayah Jawa Timur menjadi enam kebudayaan yang berbeda, yaitu (1) Arek, (2) Tengger, (3) Madura, (4) Mataraman, (5) Pendalungan, dan (6) Using. Nah, apabila di daerah Jawa Timur lainnya dikenal dengan etnis Jawa. Di Tapal Kuda, kamu akan menemukan perbedaan yang cukup signifikan. Banyak masyarakat Pendalungan yang bisa berbicara menggunakan Bahasa Jawa, tetapi terdengar logat Madura yang sangat kental. Sehingga banyak orang yang menganggap bahwa Orang Tapal Kuda atau Orang Pendalungan sebagai ‘Madura Swasta’.

Jika kamu melontarkan pertanyaan kepadaku, “Apakah aku malu akan hal ini?”. Jawabannya adalah “dulu sih, iya, aku malu”. Kenapa? Karena apabila orang lain bertanya asal daerahku, mayoritas dari mereka akan serentak mengatakan, “Kamu dari Probolinggo? Oh, Orang Madura ya?”.

Tidak bermaksud merendahkan atau menjatuhkan etnis Madura. Tetapi dengan segala stigma negatif yang diterima Orang Madura. Banyak Orang Pendalungan terutama generasi muda yang malu akan budayanya sendiri. Sebab Orang Madura selalu dikaitkan dengan konflik berdarah Sampit. Atau menggunakan istilah carok sebagai ungkapan golongan orang yang kasar dan keras.

Padahal kenyataannya ialah, Orang Pendalungan itu berbeda dengan Orang Madura. Di Tapal Kuda itu terjadi akulturasi dominan dua kebudayaan besar, yaitu Jawa dan Madura. Sehingga tidak mengherankan jika melihat kami (Orang Pendalungan) bisa menggunakan Bahasa Jawa walau berdialek Madura. Ataupun lancar menuturkan Bahasa Madura walau bukanlah Orang Madura asli.

Sementara itu, ayahku berasal dari Kota Malang, dimana termasuk ke dalam golongan Kebudayaan Arek. Kebudayaan Arek sangat akrab dengan kebudayaan Jawa. Dimana Budaya Jawa selalu identik dengan halus, adab sopan, dan santun.

Nah, bisa dibayangkan? keluarga ibuku dari Pendalungan yang mungkin memiliki ciri-ciri sedikit kasar. Sedangkan keluarga ayahku cenderung bersikap ramah tamah. Dua kebudayaan dan agama bertolak belakang yang akhirnya bersatu padu.

Aku yang tidak bisa menggunakan Bahasa Jawa halus (krama), bisa belajar dari keluarga ayah yang sangat lancar berbahasa Jawa. Sedangkan keluarga ayahku juga tertarik belajar kosa kata Bahasa Madura. Dan kami saling menghargai, tidak ada yang namanya menganggap sepele.

Mayoritas keluarga ayahku adalah penganut agama Kristen. Sedangkan keluarga ibuku adalah agama Islam. Hal ini juga sependapat dengan Zoebazary (2017) dalam bukunya yang mengatakan bahwa mayoritas orang Pendalungan itu beragama Islam.

Dari ceritaku ini, bisa ditarik benang merah bahwa apa yang dirasa mustahil untuk disatukan. Ternyata bisa menjadi suatu hal baru dan unik sehingga memiliki ciri khasnya sendiri. Sehingga aku tak lagi malu dengan perbedaan agama ataupun budaya di dalam keluargaku.

Ini cara saya untuk merawat kebersamaan, toleransi, dan keberagaman. Bagaimana cara kamu? Kabarkan/sebarkan pesan baik untuk MERAWAT kebersamaan, toleransi, dan keberagaman kamu dengan mengikuti lomba “Indonesia Baik” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.


Daftar Referensi

Hatley, R. (1984). Mapping cultural regions of Java. In editor Ron Hatley. Other Javas away from the Kraton. Monash University.

Zoebazary, M. I. (2017). Orang Pendalungan, Penganyam Kebudayaan di Tapal Kuda. Paguyupan Pandhalungan Jember.

0 komentar