Ingin Mencontoh Bandung Sebagai Kota Cerdas Pangan? Kota Lain Harus Tahu Ini…
Pertengahan September 2017, saya pernah ke Bandung untuk mewakili nama almamater di sebuah kegiatan perlombaan. Selepas acara, saya bersama teman-teman menyempatkan diri mengikuti Car Free Day (CFD) di depan salah satu kampus idaman siswa Indonesia. Selain melihat orang lalu lalang. Saya begitu takjub terhadap gerai aneka makanan yang berjejer di sepanjang jalan. Saya tak mau ketinggalan untuk mencoba semangkuk soto ayam. Hingga akhirnya terlintas pertanyaan, “bagaimana nasib sampah plastik disini?”
Iya, selama ini saya hanya tahu bahwa sampah kemasan sebagai sumber
permasalahan lingkungan. Namun ternyata ada sampah makanan yang sering luput
dari perhatian. Hingga saya mulai tersadar
akan isu sampah makanan (food waste) semenjak
mengenalnya di sebuah acara, yang lagi-lagi di Bandung.
Bandung sendiri mendapatkan predikat sebagai Kota Makanan Tradisional Terbaik (Best Cities for Traditional Food) tahun 2020. Contohnya adalah jajanan aci-acian yang begitu menarik minat seluruh kalangan masyarakat. Dibalik kelimpahan makanan di kota kreatif ini, ada kontradiksi terkait kelaparan. Hal ini juga berkaitan erat dengan sampah makanan atau limbah pangan yang jumlahnya tidak bisa dikesampingkan.
Cara Bandung Food Smart City Wujudkan Gaya Hidup Minim Sampah
Berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan, timbulan sampah organik Kota Bandung, yang sebagian besar berasal dari makanan mencapai 930 ton atau sebesar 63 persen dari jumlah produksi sampah harian. Sehingga Rikolto, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Katolik Parahyangan, dan Pemerintah Kota Bandung mencetuskan Bandung Food Smart City. Dengan beberapa program, diantaranya:
#1 Food Racing
Kampanye berupa permainan yang menyasar siswa untuk lebih bijak mengonsumsi makanan. Karena diharapkan apabila menanamkan ilmu sejak dini, mampu membentuk individu sadar sampah makanan.
#2 Food Sharing
Menengok data dari Global Hunger Index (GHI), Indonesia menempati urutan ke-5 dari 9 negara ASEAN, sebagai negara dengan indeks kelaparan tinggi. Oleh sebab itu, Bandung Food Smart City meluncurkan sebuah platform bernama Badami Food Sharing. Dengan tujuan menghubungkan kepedulian orang dari kalangan mampu kepada masyarakat lebih membutuhkan.
#3 Urban Farming
Keterbatasan lahan perkotaan mengakibatkan ketergantungan sumber makanan
dari pedesaan. Melalui program Urban Farming, diharapkan bisa memaksimalkan ketersediaan
lahan yang ada dan memanfaatkan sampah makanan lebih bijak. Seperti melakukan
penanaman dari bonggol sawi, daun serai, dan lain-lain.
Wujudkan Kota Cerdas Pangan, Perlu Kenali RSI (Regulasi, Sosialisasi, dan Implementasi)
#1 Regulasi
Aktivitas pengelolaan sampah makanan. terhitung rendah di Indonesia. Di Kota Bandung sendiri, menurut Brigita dan Rahardyan (2013), penyebabnya ialah minimnya komitmen serta sarana dan informasi dari pemerintah dalam melakukan pengelolaan sampah sisa makanan. Hal ini terbukti dengan belum adanya kebijakan yang secara khusus mengatur persoalan sampah makanan.
Sampai saat ini, peraturan terkait sampah hanya sebatas pemisahan berdasarkan jenisnya. Dimana hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Definisi yang paling mendekati dengan sampah makanan ialah sampah dari rumah tangga. Dengan menggunakan istilah sampah organik yang terdiri dari sisa masakan, sampah dari tanaman kering, sampah sayuran, dan sampah dari sisa kegiatan sehari-hari.
Apabila kota-kota di Indonesia ingin menganut sistem kota cerdas pangan, termasuk pengelolaan sampah makanan. Maka harus ada regulasi terkait hal ini. Karena menurut Chaerul dan Zatadini (2020), kebijakan memiliki peran dalam usaha pencegahan, pengurangan, dan pengelolaan sampah makanan. Kebijakan pemerintah memiliki hubungan signifikan terhadap penurunan timbunannya.
Kita bisa lihat, contohnya di Bali yang menjadi kiblat kota lain untuk penanganan sampah plastik nasional. Hal ini tidak terlepas dari terbitnya Peraturan Wali Kota Denpasar No. 36 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik. Akibat penerapan kebijakan ini, terjadi penurunan sampah plastik mencapai 99,16 persen dari kawasan toko modern dan pusat perbelanjaan.
Apabila melihat negara lain, ada pemerintah pusat Korea Selatan dengan user fee system, pedoman pengaturan pada tempat sampah, biaya, dan metode pembuangan. Sedangkan pemerintah daerah (distrik) di Korea Selatan mengatur tata cara membuang sampah makanan. Selain itu, Singapura melalui National Environment Agency (NEA) menetapkan strategi pengelolaan sampah makanan.
Indonesia sendiri hanya sampai
pada tahap penetapan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 3 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan
Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Dengan target pengurangan sebesar
30% pada tahun 2025 melalui Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2017.
#2 Sosialisasi
Mulyadi (2019), menyebutkan
bahwa sampah makanan dibagi menjadi dua kategori:
a. Left over,
yaitu sisa makanan yang diperoleh akibat penyajian berlebihan karena budaya masyarakat
perkotaan.
b. Food waste adalah sisa makanan layak maupun tidak layak, akibat kesalahan perencanaan dan manajemen. Seperti melewati tenggat waktu kadaluarsa dan produk gagal karena kesalahan proses produksi.
Produksi sampah makanan dimulai dari tingkat kesadaran masing-masing individu. Kesadaran seseorang ini berhubungan erat dengan keyakinan yang dianut. Selain itu, kondisi sosio-demografi juga berpengaruh dengan jumlah timbulan sampah makanan. Misalnya jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, jumlah pendapatan, dan akses infomasi. Oleh karena itu, mempercepat penyediaan informasi terkait sampah makanan mutlak diperlukan. Seperti halnya yang dilakukan Bandung Food Smart City melalui media sosial. Diharapkan mampu meningkatkan kesadaran para generasi muda.
Sesungguhnya ada banyak hal
sepele yang bisa dilakukan untuk mengurangi bahkan meniadakan atau bebas sampah makanan. Gaya hidup
minim sampah makanan bisa menjadi upaya pencegahan produksi timbulan sampah
makanan. Beberapa hal yang bisa dilakukan setiap individu hingga skala rumah
tangga, diantaranya:
- Walaupun memiliki alat penyimpanan seperti kulkas,
tetap saja belilah bahan pangan secukupnya.
- Perencanaan
matang mulai dari penyimpanan bahan
makanan hingga proses produksi
dan pasca produksi. Misalnya saja mengurangi
penggunaan bahan hiasan (garnish)
yang hanya berfungsi untuk menambah nilai estetika. Seperti hiasan berupa potongan
cabe, tomat, daun bawang, dan lain-lain yang tidak dikonsumsi.
- Bahan pangan masih layak konsumsi, seperti mendekati waktu kadaluarsa. Bisa
segera diolah terlebih dahulu atau didistribusikan kepada orang yang
membutuhkan.
- Sisa makanan akibat pengolahan
yang berlebihan, dapat diberikan kepada tetangga atau kerabat.
#3 Implementasi
Sebagian besar sampah makanan di kota akan berakhir di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir). Timbunan sampah pangan yang mengandung bahan organik yang tinggi (55-60%), dapat memicu ledakan akibat gas metana (CH4). Perisitiwa ledakan TPA pernah terjadi di Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat pada 21 Februari 2005, hingga merenggut 157 korban jiwa.
Oleh sebab itu, selain
memacu kesadaran masyarakat untuk bijak mengonsumsi makanan. Perlu adanya
strategi khusus terkait pengolahan sampah makanan. Ada beberapa metode dan
produk yang bisa dikembangkan oleh pemerintah daerah, diantaranya:
a. Pengolahan Kompos
Proses pembuatan kompos secara tradisional bisa
memakan waktu 3 minggu. Namun pada skala industri, hanya membutuhkan waktu
sekitar 5-10 jam, menggunakan teknologi conductive
drying. Pengolahan kompos terbukti mampu mengurangi sampah
hingga 58%.
b. Pembuatan Eco-Enzyme
Sisa buah dan sayuran bisa diolah menjadi cairan
pembersih organik (eco-enzyme). Bahan
yang dicampurkan juga sangat sederhana, yaitu gula merah dan air.
c. Budidaya Maggot
Pemerintah Kota Bandung menggunakan maggot sebagai upaya untuk pengolahan sampah organik. 10.000 maggot dinilai mampu 1 kg sampah organik hanya dalam kurun waktu 24
jam. Selain itu, maggot
juga dapat diolah menjadi pupuk atau untuk pakan ternak.
d. Biopori Vertikal
Lubang biopori yang dibuat secara vertikal dengan
kedalaman kurang lebih 100 cm, dapat membantu penyerapan air. Selain itu,
biopori vertikal dinilai mampu mengurai sampah organik. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Dahliaty dkk (2020) di Kota Pekanbaru, yang mengkombinasikan dengan
larva BSF (Black Soldier Fly) atau
maggot.
e. Pembuatan Bahan
Bakar dari Sampah Makanan
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Maka pembangunan PLTSa akan segera direalisasikan pada 12 kota besar.
Itulah pengetahuan khusus yang perlu didalami oleh sebuah kota apabila
bermimpi menganut sistem kota cerdas pangan. Memang sajian informasi tersebut
terdengar rumit untuk dilaksanakan. Namun dengan kepercayaan diri yang tinggi,
bukan berarti hal-hal diatas mustahil direalisasikan. Yang terpenting adalah bagaimana sebuah kota membangun komitmen dan
optimisme, agar cita-cita menjadi Kota Cerdas Pangan dapat terwujud.
Referensi:
Brigita, G. dan Rahardyan, B. (2013). Analisa pengelolaan sampah makanan di Kota
Bandung. Jurnal
Teknik Lingkungan. 19 (1), 34-45.
Chaerul, M. dan Zatadini, S.U. (2020). Perilaku membuang
sampah makanan dan pengelolaan sampah makanan
di berbagai negara: review. Jurnal Ilmu Lingkungan. 18 (3), 455-466.
Dahliaty, A., Sophia, H., Nurulita, Y., dan Helianty, S. (2020). Penerapan
teknologi biopori vertikal dengan memanfaatkan larva black soldier fly sebagai pengurai. Seminar Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Pekanbaru. 2, 207-214.
Mulyadi, S. (2019). Sampah makanan atau food waste. Newsletter. 33 (11).
0 komentar